Mon, 30 Jun 2025
Cerpen / Evy Uswatun Hasanah / Jun 30, 2025

Bayangan dalam Halaman

Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak embun di kaca jendela kamar Elin. Udara masih basah oleh aroma tanah yang tercium samar dari celah-celah kayu di lantai rumahnya. Mala mini sunyi, hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di dinding.

Ia duduk di meja belajarnya, ditemani cahaya lampu kuning redup dari lampu meja yang sudah mulai berkedip-kedip, seperti sudah kehabisan tenaga.

Langit malam merambat di sebalik jendela kamar Elin, berpendar dalam cahaya bulan pucat yang menyelinap masuk. Di hadapannya, sebuah buku diary bersampul kulit tergeletak di atas meja kayu tua, diam menunggu diisi.

Tangan kanannya menggenggam pena dengan erat, sementara pikirannya melayang-layang memikirkan kata-kata yang akan ia tuling di halaman kosong itu.

 “Seandainya dunia ini berjalan sesuai dengan yang kutulis…” gumamnya pelan.

Ia menekan ujung pena ke kertas, menggoreskan sebuah cerita yang sama sekali tidak masuk akal, entah itu dunia yang lautnya berwarna peony, langit dipenuhi ikan paus melayang, dan pepohonan berbisik dalam bahasa manusia.

Ia juga menulis tentang seorang gadis yang dapat mengubah musim hanya dengan menari, tentang kota yang penduduknya hidup dalam gelembung mengapung.

Namun, baru saja ia menyelesaikan kalimat terakhir, sesuatu yang aneh terjadi. Pena di genggamannya bergetar, seakan hidup. Tinta yang ia tuangkan pada buku diarynya mulai berpendar redup, menyebar layaknya kabut tipis. Lalu, dari balik jendela, suara desir ombak terdengar bukan ombak biasa, melainkan laut peony yang baru saja ia pikir dan tuliskan pada buku diary. 

Mata Elin membelalak.

Di luar sana, di bawah cahaya bulan yang sama, dunia yang baru saja ia tulis mulai terbentuk. Alya tertegun. Jari-jarinya masih menggenggam pena, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia menoleh ke jendela, menatap lautan peony yang beriak pelan di bawah cahaya bulan malam itu. Malam yang gelap menjadikan warna laut semakin terpancar seakan menunjukkan sebuah keajaiban.

Pepohonan di samping rumahnya kini berubah bentuk, dahan-dahannya melengkung seperti lengan manusia, bergoyang setelah berbincang satu sama lain. Dari langit, paus paus raksasa melayang, berenang di antara awan yang tak terlihat lagi seperti awan karena mendung yang masih tersisa.

“Ini… tidak mungkin,” bisiknya masih dalam keterkejutannya.

Tapi ketika ia menoleh ke bawah, ke halaman yang baru saja ia tulis, kata-kata itu telah lenyap. Tinta yang tadi jelas terbaca kini telah terserap ke dalam kertas, seakan telah menyatu dengan dunia yang sedang ia ciptakan. 

Elin menarik napas dalam. Ia memutuskan untuk menguji sesuatu. Dengan hati-hati, ia mulai menekan tintanya lagi ke lembar yang tiba-tiba kosong tadi dan menulis kembali.

“Di tengah lautan peony itu, ada sebuah pulau yang dihuni oleh manusia berkulit cahaya. Mereka hidup dalam harmoni dengan pohon-pohon yang bisa berbicara dan burung-burung yang bernyanyi dengan suara seperti lonceng angin.”

Begitu kalimat tersebut selesai ia tulis, angin di kamarnya berhembus lebih kencang. Aroma laut yang asin memenuhi ruangan. Ketika Elin menoleh lagi ke balik jendela, ia pun dikejutkan dengan kemunculan sebuah pulau kecil dengan manusia berkilauan, pepohonan yang saling bergurang dengan burung-burung yang berkicau telah muncul di kejauhan.

Ia terengah. Apa pun yang ia tulis menjadi nyata.

Elin tidak tidur malam itu. Ia terus menulis, menciptakan dunia yang lebih luas, lebih menakjubkan. Ia menciptakan sungai yang alirannya berwarna emas, langit yang berubah-ubah warna sesuai perasaan penduduknya, hingga hewan-hewan yang dapat berdendang indah mengikuti alunan suara air mengalir. Setiap kata yang ia torehkan melahirkan sesuatu yang baru, sesuatu yang nyata.

Namun, yang paling mengejutkan ketika ia menuliskan nama seseorang untuk mengembara dunia yang baru ia ciptakan. Mencari asal usulnya dunia itu terbentuk. Seseorang itu ialah anak laki-laki bernama Rado. Elin tidak tahu mengapa nama itu muncul dalam pikirannya, tapi begitu ia menyelesaikan paragraf pertama tentang Rado, terdengar suara ketukan di jendela.

Dengan jantung berdegup kencang, ia berbalik.

Seorang anak laki-laki berdiri di luar. Rambutnya berantakan, matanya tajam penuh rasa ingin tahu, dan tubuhnya tampak seperti bercahaya samar dalam gelap.

 “Elin,” katanya. “Akhirnya aku menemukanmu.”

Elin mundur selangkah, merasakan punggungnya menabrakk kursi. “Siapa kau?”

Anak laki-laki itu tersenyum tipis. “Aku Rado. Kau yang menciptakanku kan?”

Elin membeku di tempatnya. Kata-kata Rado menggema di kepalanya.

“Aku Rado. Kau yang menciptakanku kan?”

Nafasnya tercekat. Jari-jarinya mencengkeram erat pena yang masih berlumur tinta. Ia menatap anak laki-laki di luar jendela, Rado, tokoh yang baru saja ia tulis beberapa menit lalu.

“Ini tidak mungkin,” gumamnya. “Aku hanya menulis… aku tidak benar benar—“

Rado tersenyum, tetapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat bulu kuduk Elin meremang. Itu adalah senyum seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.

“Masuklah,” suara Elin nyaris bergetar, bahkan sebelum ia menyadari apa yang baru saja ia katakana.

Rado tidak bergerak, ia menatap Elin lebih dalam, seolah menilai sesuatu. “Aku tidak bisa,” latanya akhirnya. “Bukan aku yang menulis cerita ini.”

Elin mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Rado menunduk, tatapannya redup. “Aku juga baru sadar, aku tidak benar-benar ada di dunia yang kau ciptakan. Aku juga hanya sebuah tulisan. Dan kau, Elin…”

Ia mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata Elin. “…kau juga bukan nyata.”

 “Apa?” Jantung Elin seperti berhenti berdetak. 

Raka menghela napas. “Aku juga baru mengetahuinya. Seperti yang kau tulis, aku menemukan jalan keluar dari dunia imajinasimu. Tapi… begitu aku keluar, aku melihat sesuatu yang lebih besar. Aku melihat halaman kertas, pena yang bergerak dan nama kita ada di sana. Kita berdua hanyalah karakter dalam cerita orang lain.”

Elin menggeleng kuat. “Tidak! Tidak mungkin! Aku nyata, aku punya kehidupan! Aku punya keluarga, teman—“

“Tapi sejak kapan kau mengingat mereka?” potong raka. “Apa kau bisa mengingat hari ulang tahun Ibumu? Aroma makanan favoritmu? Atau… apakah semuanya terasa seperti fragmen yang kabur, seperti cerita yang ditulis tanpa detail?”

Elin membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar.

Kepalanya mulai terasa pusing. Ia mencoba mengingat kembali tapi tidak ada yang benar-benar utuh. Semua kenangannya terasa seperti catatan samar yang tidak pernah benar-benar ia alami sendiri.

Tidak. Ini tidak mungkin.

Ia menoleh ke meja, menatap diary yang masih terbuka. Jemarinya bergetar saat ia membalik halaman terakhir.

Di sana, tertulis dengan tinta pekat.

Elin duduk terpaku di depan diary nya, menyadari bahwa selama ini ia bukanlah penulis cerita, melainkan hanya karakter di dalamnya.

Tangannya gemetar. Ia mengangkat wajahnya, menatap Rado, berharap ini semua hanya mimpi buruk.

Namun, saat ia berkedip, dunia di sekitarnya mulai memudar. Kamarnya, mejanya, bahkan tubuhnya sendiri, semuanya larut menjadi tinta hitam, terserap kembali ke dalam halaman diary.

Dan di luar sana, seseorang menutup buku itu. 

menghembuskan nafas.

kemudian mengambil pena--.

--dan mulai menulis cerita baru.

 
 
Penulis: Evy Uswatun Hasanah, mahasiswa yang berasal dari Ponorogo.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.