Sun, 29 Jun 2025

Wasiat di Balik Bulu Domba

Panjul akhirnya mati. Ia memberiku satu wasiat: ambil HP-ku dan bakar!

Tapi masalahnya, HP Panjul berada di tangan para domba yang hidup di rumahnya. Aku tak memiliki kuasa untuk merebut HP-nya dari para monster itu. Sebab mereka memiliki kekuatan yang sangat besar. Saat aku tanya apa kekuatannya—supaya aku bisa mencari kelemahannya—Panjul malah keburu menghembuskan napas terakhirnya.

Namun jika tidak kuambil, aku akan kena kutukan karena tidak bisa mengabulkan permintaan terakhir orang mati. Konon katanya, jika seseorang tidak mewujudkan wasiat orang mati, ia akan ditempeli arwah orang mati tersebut selamanya. Selain itu aku juga tidak bisa meninggalkan Panjul begitu saja setelah ia meregang nyawa. Pria sejati tidak akan meninggalkan sohibnya.

***

Sekarang, aku dan alat tempurku yang ada di dalam tas sudah berada di depan rumahnya Panjul. Rumahnya tidak terlihat mewah, tapi tidak bobrok juga. Hanya rumah pada umumnya: berpintu, berjendela, dan bertingkat dua. Di balkon lantai dua aku melihat sebuah selimut berwarna kuning yang sedang berkibar.

Mungkin sedang dijemur. Tapi memangnya domba butuh selimut? Bukankah bulu mereka terlalu tebal untuk memakai selimut?

Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghempaskan pikiran-pikiran absurd, lantas berjalan mendekati rumah dan mengetuk pintu.

Tok, tok, tok.

“Permisi.”

Setelah beberapa saat menunggu, penghuni rumah tetap tak merespon salam dan ketukanku. Mungkin domba tidak tahu caranya membuka pintu. Mereka ‘kantak memiliki tangan.

Maka kubuka pintu rumah tersebut. Dalam sekejap bau amis ikan mengagetkan hidungku. Tapi mataku lebih kaget lagi karena ternyata bagian dalam dari rumah ini sangat buruk: berantakan dan lembap.

Perabotan rumah tak tertata dengan rapi, ada beberapa barang yang pecah, dan bahkan ada lumut serta rumput liar yang tumbuh di sudut lantai dan tembok.

Aku yang tadinya hendak melepas sepatu, jadi memutuskan untuk tidak melepaskannya. Malah kalau ada kain atau kantong plastik, aku ingin melapisi sepatuku dengan benda-benda itu sebelum menginjak lantai yang menjijikkan ini.

Kakiku melangkah masuk ke dalam rumah. Ruangan pertama ini mungkin ruang tamu karena ada sofa-sofa yang terbalik di ruangan ini. Bau amis ikan masih sangat menyerbak. Aku mengikuti arah bau tersebut, mungkin bau itu akan menunjukkan lokasi para domba.

Aku berjalan melewati sebuah ruangan yang tampak seperti ruang TV. Dan di saat itulah aku menyadari bahwa bau amis ikan tadi sudah menghilang. Aku tak begitu memedulikannya dan langsung mengintip ke dalam ruang TV tersebut.

Ternyata di sana ada seekor domba yang sedang tiduran di sofa. Bulu domba itu berwarna hitam dengan garis-garis spiral yang berjarak satu sama lain di seluruh bulunya.

Di ruangan itu berserakan kartu poker, catur, kopi yang tumpah, dan batang-batang rokok yang telah pendek sehabis dikonsumsi. Domba itu menyadari keberadaanku. Ia menoleh dan mulai berlari ke arahku. 

“Di mana HP Panjul?! Aku kalah taruhan!”

Dengan cepat aku menutup pintu ruangan tersebut sebelum domba itu menerkamku hidup-hidup. Peluh berkucuran di sekujur badan, jantung berdebum-debum, dan napas pun tak beraturan, itulah kondisiku sekarang. Nampaknya domba itu—atau si Gelap aku memanggilnya—tak memiliki kekuatan khusus selain menyerang secara fisik.

Aku melanjutkan perjalananku dan mencoba untuk tidak menghiraukan kejadian tersebut. Dalam perjalanan, aku melihat sebuah ruangan yang sangat cantik dan menawan.

Ruangan tersebut seharusnya tidak ada di rumah seperti ini. Di sana aku melihat seekor domba yang mengenakan seragam SMA dengan bulunya yang bersih dan indah sedang menari dalam alunan musik yang lembut.

Tapi sayangnya hari ini bukan hari keberuntunganku—aku baru ingat hari ini adalah tanggal tiga belas, artinya akan ada banyak kesialan di hari ini—Dan betul saja, aku yang hampir terpikat oleh pesona Domba Kinclong itu, kini telah diperlihatkan wujud aslinya ketika ia menoleh ke arahku. Ia memiliki taring yang sangat panjang dan tajam. Dia berlari ke arahku.

“Di mana HP Panjul! Aku ingin dugem!”

Tanpa basa-basi aku langsung menutup pintu kamar tersebut. Ia menggedor-gedor pintu kamarnya dengan sangat keras. Aku berlarian menjauh dari keganasan domba tersebut. Tak bisa kupungkiri bahwa domba itu—sebut saja si Kinclong—memiliki kekuatan pemikat mangsa yang luar biasa.

Setelah merasa lumayan aman, aku berhenti berlari. Aku menarik kolorku dan melihat ke dalam dan mendengus. Oh, tidak pesing kok. Untung saja aku tidak kencing di celana. 

Di sepanjang perjalanan aku berpikir tentang alasan keduanya tidak tahu keberadaan HP Panjul padahal sudah hidup bertahun-tahun bersamanya. 

Saat masih bergelut dengan pikiran, tiba-tiba bau amis ikan yang tadinya sudah hilang muncul kembali. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti bau amis ikan tersebut, yang ternyata berasal dari dapur.

Aku sedikit terkejut karena dapurnya, meskipun tetap lembap, kotor, pucat, dan amis, tetapi perabotannya lebih tertata dibandingkan dengan ruang tamu, ruang TV, dan lorong rumah yang kulewati.

Keterkejutanku yang hanya sedikit tak berlangsung lama karena aku menemukan seekor domba dengan bulu yang pucat sedang memotongi ikan dengan pisau yang ada di genggaman kakinya.

Sekarang aku benar-benar terkejut dan keheranan. Aku mengerjapkan mata. Itu kaki atau tangan ya?Ah, membingungkan! Akan kusebut ‘tangan’ untuk kaki bagian depan, dan ‘kaki’ untuk kaki bagian belakang.

Aku berpikir lagi, kalau ia bisa memotong ikan, kenapa tadi ia tidak membukakan pintu untukku ya? Seketika aku merasa kesal.

Sebelum aku kembali dari benakku, ternyata domba itu sudah memerhatikanku sambil meringis. Aku kaget bukan kepalang. Aku mencoba menenangkan diri karena mungkin senyumannya itu merupakan bentuk keramahannya. 

“Hai!”

Domba itu melambaikan tangannya. Pisau yang ia pegang terhempas ke arahku, menancap tepat di tembok di samping kepalaku. Badanku bergidik ngeri dan jantungku menjadi berisik. Aku tidak mau menyusul Panjul sekarang dengan cara yang konyol. Aku menatap pisau itu dengan mata yang hampir copot.

“Oh maaf. Aku terlalu bersemangat jika ada teman Panjul yang datang ke rumah.”

Aku menoleh lagi ke arahnya dengan senyum, atau lebih tepatnya seringai ketakutan. Aku tidak tahu kalau Panjul pernah menceritakan diriku kepada domba-domba yang ada di rumahnya ini. Kukira ia sangat membenci mereka. Rupanya tidak; ia masih bisa berbicara kepada para domba itu.

“Kau ... benar temannya Panjul, kan?” Ucap domba itu. Aku baru menyadari bahwa suaranya lembut sekali. Sangat kontras dengan tampangnya. Dan dari suaranya, domba ini merupakan domba betina.

“Ah, iya, mmm...”

“Panggil aku Tante saja, tidak apa-apa.”

Tante?! Di dunia domba ternyata ada sebutan tante juga, ya?

“Oh, iya, Tante.”

“Sini nak, duduklah di meja makan. Akan kuhidangkan ikan lezat untukmu.” Tante Pucat—begitulah aku memanggil domba betina berbulu pucat ini—menyuruhku duduk di meja makan sembari membawa talenan yang terdapat potongan ikan di atasnya ke dalam baskom yang ada di dekat kompor.

Aku berjalan ke arah meja makan dan duduk di sana. Tante Pucat terlihat sibuk dengan ikannya. Aku melihat sekeliling dapur. Rupanya Tante Pucat suka mengoleksi beraneka ragam pisau.

Mulai dari pisau silet, hingga pisau raksasa sebesar lengan laki-laki dewasa. Meskipun begitu, perangai Tante Pucat tidak menyeramkan, kecuali saat ia melempar pisau ke arahku tadi. Tapi sudah kumaafkan karena itu hanyalah ketidaksengajaan.

Tante Pucat masih sibuk dengan ikannya. Ia tidak terlihat menyalakan kompor. Ia hanya mencampur-campurkan sesuatu ke dalam baskomnya, entah apalah itu. Tapi kukira bau amisnya akan hilang, ternyata malah semakin pekat di hidung. 

BRAK!

Tiba-tiba di hadapanku sudah ada Tante Pucat yang membanting baskom berisi potongan ikan ke meja makan. Aku tidak sadar kapan ia berjalan ke arah sini. Saat kulihat makanan yang dihidangkan oleh Tante Pucat, sepersekian detik isi perutku hendak keluar semua.

Apa yang dihidangkan olehnya tidak pantas disebut makanan. Itu bahkan lebih buruk dari kotoran babi! Aku menahan penghuni perutku yang sudah mendobrak-dobrak kerongkongan.

“Maaf hanya ini yang bisa kuhidangkan. Dirimu mengingatkanku pada Panjul sih, makanya kuhidangkan makanan yang seperti ini. Panjul kan hanya pantas makan makanan yang beginian.” Tante Pucat duduk di kursi yang ada di hadapanku sambil tergelak.

Aku tak mengerti maksudnya. Apakah dia baru saja merendahkan Panjul? Pantas saja Panjul membencinya. 

“Ah, tidak, maksudku … Panjul memang suka makanan yang seperti itu. Makanya kubuatkan saja, deh.” Ia mengoreksi pernyataan sebelumnya. Aku hanya menyipitkan mata, menelisik niat asli si Pucat ini. Aku berhenti memanggilnya tante. 

Saat aku melihat matanya lekat-lekat, tiba-tiba pandanganku kabur. Namun dalam sekejap pandanganku pulih kembali. Sepertinya aku terlempar ke dimensi lain.

Masih di tempat yang sama, dengan suasana yang berbeda. Suasananya terlihat dan terasa lebih normal. Namun ada sebuah kejanggalan: tubuhku transparan. Aku melihat seorang anak kecil yang mirip Panjul.

Mungkin itu memang Panjul, karena ini ‘kan rumahnya. Ia sedang duduk di meja makan, hendak menyantap ikan goreng yang terlihat amat lezat. Aroma dan tampilannya sangat berbanding terbalik dengan kotoran babi tadi. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang tidak asing.

“Panjul! Sudah kubilang kau tidak boleh ke sini, ke istanaku!” Sesuai dugaan, suara wanita itu milik si Pucat.

Panjul tersentak, tidak jadi menyantap makanannya. Si Pucat menarik Panjul, lantas ia seperti mencengkeram sesuatu yang tidak terlihat. Mungkin ia sedang membelai udara. Tapi dari dada Panjul, keluar sebuah benda berwarna merah segar yang ternyata adalah sebuah hati. Ternyata perilaku aneh meraba udara itu bukan meraba udara, melainkan mencuri hati dari pemiliknya. 

Si Pucat lantas menembakkan jarum-jarum kecil dari mulutnya ke hati Panjul. Panjul yang kesakitan pun menangis sejadi-jadinya. Si Pucat mengembalikan hati Panjul ke dalam dadanya. Panjul meremas erat-erat dadanya sambil terus menangis.

Ternyata itulah kekuatan Domba Pucat ini.

“Berhenti menangis, dan kembali belajar!” Seketika Panjul berhenti berteriak, namun matanya tidak bisa berbohong. Aliran sungai masih terjun dari kedua matanya, membanjiri pipinya. Dengan masih meremas dadanya karena kesakitan, Panjul pergi dari dapur.

Tak lama dari kepergian Panjul kecil, Panjul dengan seragam SMA tiba-tiba berjalan melewati ruang dapur sekaligus ruang makan. Aku tersentak karena seharusnya Panjul sudah dikubur, tapi ia malah seenaknya mampir ke rumahnya. Kalau begitu seharusnya aku tidak usah repot-repot mengemban misi berbahaya seperti ini.

“Seharusnya bisa peringkat satu. Kenapa hanya mentok di peringkat dua, sih?!” Sebuah teriakan datang dari si Pucat itu lagi.

Mendengar hal itu, Panjul hanya berhenti tanpa menoleh. Wajahnya tak bereaksi apa-apa. Berbeda dengan Panjul yang tenang, si Pucat justru menampakkan matanya yang hendak menggelinding. Hati milik Panjul yang sudah tertancap banyak jarum keluar dari dadanya.

Si Pucat mengeluarkan hati Panjul tanpa harus mencengkeram udara lagi. Agaknya ia semakin andal dalam mengendalikan kekuatannya. Tapi kini hati yang keluar dari dada Panjul adalah hati yang sudah diselimuti es; hatinya kini telah beku. 

Panjul menghela napas. Kemudian ia memasukkan kembali hatinya ke dalam dadanya, lantas pergi begitu saja. Angkara murka si Pucat meledak. Ia melempar pisau bertubi-tubi ke arah Panjul. Panjul mengizinkan pisau-pisau itu menghinggapinya. Ia berlumuran darah. Satu tetes air mata tumpah, tapi ia langsung mengusapnya. Panjul pergi dengan pisau-pisau yang memeluk dirinya.

Saat Panjul pergi, pandanganku kabur. Namun secara berangsur, pandanganku kembali pulih. Suasana rumah kembali sama dengan pertama kali aku masuk tadi.

Dan si Pucat masih duduk di hadapanku dengan seringainya yang seram dan giginya yang agak tonggos. Ingin kupentung giginya yang menonjol itu.

“Nak, apakah kau tahu, di mana HP milik Panjul?”

Alisku bertaut. Kebingungan melanda diriku. Si Pucat sialan ini ternyata tidak tahu keberadaan benda yang sedang kucari.

“Aku membutuhkan itu untuk merenovasi istanaku. Kau lihat? Sudah saatnya aku mempercantik mereka semua.”

Ia menunjukkan dapurnya yang ternyata bagiku memang sangat memancarkan citra ‘ISTANA’ tapi harus ditambah kata ‘LEBAY’ supaya lebih lengkap: Idih Setan Aja Nampak Lebih Baik.

“Ah, aku tidak tahu.”

“Hm, begitu ya,” Si Pucat mengangguk-angguk. “Kalau begitu, buat apa kau datang kemari?”

Aku sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Kujawab hanya ingin sekadar mengenang Panjul. Si Pucat langsung percaya. Aku meminta izin kepada si Pucat untuk mendatangi kamar Panjul. Dan ia membolehkannya. Aku pergi meninggalkan Domba Pucat itu yang tak berhenti memasang seringainya yang menakutkan.

***

Sekarang aku telah berada di lantai dua. Aku langsung melihat sebuah kamar dengan pintunya yang tertutup—karena memang hanya ada ruangan itu di lantai ini.

Aku mendekati kamar tersebut dan melihat sebuah papan bertuliskan “Panjul’s Room”. Di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “ketuk dulu kalau mau masuk!” yang menggantung di pintu ruangan ini. Ternyata Panjul itu alay ya, orangnya. Aku terkekeh.

Aku membuka pintu kamar Panjul dan langsung menutupnya supaya privasinya tetap terjaga. Kamar ini sangat rapi. Yah, tipikal Panjul sekali, lah. Aku melihat rak buku yang penuh dengan buku resep makanan. Rupanya minat panjul soal dunia masak sudah muncul sedari ia kecil.

Selain itu adapula piagam-piagam yang diraih oleh Panjul menggantung di tembok kamarnya. Piala-piala kejuaraan juga terpampang jelas di meja belajarnya. Aku sedikit tidak menyangka, Panjul yang hanya hobi memasak dapat meraih begitu banyak penghargaan di bidang akademik sewaktu ia masih bersekolah.

Tiba-tiba aku meneteskan air mata. Sebuah foto yang mengandung asam dan garam kehidupan yang dipajang di atas nakas berhasil menarik hatiku. Foto itu adalah foto Panjul bersama diriku saat kami berwisuda.

Aku sangat tersentuh tatkala menyadari bahwa hanya momen bersamakulah yang diabadikan di kamarnya. Foto Panjul bersama para monster domba itu sama sekali tidak ada di kamarnya. Tapi memang seperti itulah seharusnya. Mereka tak pantas untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari Panjul.

Pandanganku teralihkan oleh tiga action figure karakter Shaun the Sheep di samping pajangan foto di atas nakas.

Oh, ternyata begitu.

Maksudnya ‘berada di tangan para domba’ itu bukan berada di tangan tiga makhluk menyeramkan tadi, melainkan berada di dekat action figure ini. Aku dengan cepat langsung membuka laci yang ada di nakas tersebut. Pasti mengarah ke situ. 

Saat kubuka, ada banyak barang di sana, seperti buku resep makanan, buku catatan, kalkulator, tempat pensil. Ah, ada di mana sih?!

Tapi saat kukeluarkan benda-benda itu tadi dan hendak menutup laci, ternyata laci tersebut terasa berat. Seperti ada satu barang yang tertinggal di sana. Kemudian aku mengetuk bagian dalam laci tersebut dan benar saja, terdapat rongga di sana.

Aku mencoba mengangkat papan alas laci tersebut, dan ketika terangkat, HP Panjul tergeletak di sana. Aku mengambilnya dan kelojotan karena terlampau senang. Tapi kegembiraanku tak berlangsung lama. 

Sial, kenapa sih aku harus pergi ke rumah Panjul di tanggal tiga belas?!

Ada yang mendobrak pintu kamar Panjul. Si Gelap, si Kinclong, dan si Pucat telah berada di hadapanku sekarang. 

“Kau pikir kita bodoh ya, nak? Padahal kau sendiri yang telah masuk ke dalam jebakan tikus sejak awal!” Si Pucat menghardikku.

Si Gelap memukul-mukul dadanya, si Kinclong menunjukkan taringnya, sedangkan si Pucat menyeringai dan melotot. Tiba-tiba ketiganya menyobek badan mereka dan segera berubah menjadi serigala! Oh tidak! Mereka ini rupanya serigala berbulu domba! Mereka mengaum dengan ganas.Aku jadi kebelet kencing.

Mereka tak memberiku waktu yang lama; setelah bertransformasi, mereka langsung mengejarku. Aku menyesal karena telah menganggap mereka sebagai gumpalan bulu yang lemah dan bodoh.

Aku jadi tidak sempat menganalisis kelemahan mereka. Aku dengan gugup memutuskan untuk pergi ke balkon, mengambil selimut kuning yang dijemur di sana, dan melompat dari balkon lantai dua dengan selimut kuning itu sebagai parasutku.

Aku mendarat dengan aman. Tapi sebenarnya belum aman karena tiga serigala tersebut melompat juga dari balkon. Mereka kemudian meloncat ke arahku, hendak menerkam.

Aku melempar selimut kuning tadi ke arah mereka. Sesuai rencana, mereka kesulitan untuk menyingkirkan selimut itu dari tubuh mereka. Karena selimutnya memang besar dan berat.

Sementara ketiga monster goblok itu mengaum dan mengerang tidak jelas, aku menumpahkan sebotol bensin yang telah kusiapkan sejak awal. Aku telah menyemprotkan parfum mobil ke tasku untuk menyamarkan bau bensinnya.

Dengan cekatan aku mengambil korek api, menyalakannya, dan melemparnya ke arah genangan bensin. Dalam sekejap, api pun membara. Tanpa basa-basi lagi, aku melempar HP Panjul ke dalam kobaran api tersebut.

Ketiga serigala itu memang bodoh, menyingkirkan selimut saja tidak bisa. Akhirnya aku menarik selimutnya kuat-kuat. Di sana aku malah melihat ketiganya yang sedang berkelahi, meributkan siapa yang harus mendapatkan HP Panjul. Pantas saja selimutnya tidak kunjung tersingkir, ternyata mereka malah ribut sendiri. Aku tertawa terbahak-bahak.

Mereka bingung dengan tawaku.

Goblok! Tuh, yang kalian cari sudah jadi abu!” Aku terpingkal-pingkal sampai jatuh ke tanah.

Mereka bertiga menangis bergulingan. Arwah HP Panjul pun ikut tertawa karena ketololan dan keegoisan mereka.

 

Penulis: Arina Chuuriyyah Herawati, sedang mengenyam pendidikan di ISI Yogyakarta, jurusan Film dan Televisi.

 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.