Wisma
Bangunan tua dua lantai itu tampak lengang. Rumput luas menyelimuti halamannya. Di bagian belakang, terdapat taman dengan berbagai pepohonan.
Terletak di sudut perkampungan kecil, konon tempat itu didirikan oleh pertapa dari sebuah sekte spiritual untuk tempat menyepi bagi para jemaatnya. Ada yang bilang bahwa bangunan itu dulunya dibangun oleh konglomerat sebagai safe house bagi orang-orang yang terdampak wabah.
Sampai sekarang pun asal muasal bangunan tersebut masih simpang siur. Kini bangunan tua tersebut menjadi wisma dan masih beroperasi dengan baik.
Meski orang-orang menganggapnya lebih dari sekedar tempat menginap. Terkadang wisma tua itu tampak seperti rumah hantu tak berpenghuni. Namun di saat tertentu, terlihat beberapa tamu menginap di sana.
Dari sekian banyak tanda tanya tentang wisma tua tersebut, hanya satu hal yang pasti. Bahwa setiap tamu hanya menginap di sana sekali dalam seumur hidup mereka. Pada masa itu, banyak orang menderita oleh berbagai kemusykilan hidup.
Sepertiga dari populasi di berbagai kota telah terjangkit depresi. Sehingga banyak orang mencari obat bagi kegelisahan mereka. Dan entah sejak kapan, bagi sebagian orang, bangunan tersebut menjadi cara tersendiri untuk menyembuhkan luka.
Malam itu seorang pria berusia akhir lima puluhan menenteng koper mewah berwarna hitam datang ke sana. Atas rekomendasi koleganya, ia mengambil cuti panjang dari pekerjaanya di kota dan memutuskan untuk menenangkan diri di sana.
Ada sesuatu berkaitan kematian anaknya yang ingin ia selesaikan. Setelah mengamati berbagai furnitur bergaya klasik di lobi, ia lalu menekan lonceng di meja resepsionis. Seorang pemuda dengan setelan rapi menghampirinya.
“Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?”
Pria itu terdiam sejenak. “Aku ingin menginap, kira-kira butuh berapa hari aku di sini?”
“Biasanya orang seusia anda tidak membutuhkan waktu lama, namun menilik dari penampilan anda mungkin relatif lebih cepat.” Jawab resepsionis itu dengan nada humor yang kering.
Pria itu terdiam, tampak menimang sesuatu. Setelah mengurus beberapa dokumen registrasi, ia lalu diantar ke sebuah kamar tempat ia akan menginap.
Beberapa orang yang menginap di sana tampak berwajah murung. Ekspresi itu semakin kentara saat mereka termenung di balik jendela kamar masing-masing. Menatap kosong halaman wisma, seakan berbagi cerita tentang kemalangan hidup.
Di dalam kamar sunyinya, pria itu merenungkan kembali hidupnya setelah kegagalan berumah tangga. Usai perceraiannya, ia hidup bersama anak laki-lakinya yang masih kecil.
Namun pada suatu hari, mereka mengalami kecelakaan mobil yang menewaskan anak laki-lakinya. Kejadian itu kemudian menghantuinya bertahun-tahun. Hingga akhir-akhir ini, ia mulai menyadari bahwa ia akan menghabiskan sisa umurnya dengan diselimuti kesepian.
Dan disinilah ia sekarang, berhari-hari mengunci diri di dalam ruang hampa. Seorang pria yang malang, kesepian, dan akan mengisi masa tuanya sendirian dengan derita masa lampau.
Beberapa hari kemudian, datang seorang wanita berusia akhir tiga puluhan. Sebelum memutuskan pergi ke sana, ia divonis oleh psikiater terkena gangguan PTSD.
Hal itu disebabkan karena kekerasan yang dilakukan suaminya. Beberapa kali pria itu berdampingan dengannya di lorong lobi. Wajahnya selalu terlihat sayu. Hingga pada suatu sore yang mendung, pria itu melihatnya duduk di bangku taman. Dress berwarna pucat yang ia kenakan membuatnya tampak anggun.
Pakaian yang berbeda dengan perempuan yang biasa ia temui di kota. Kedua tangannya sedang merajut syal panjang berwarna abu-abu. Samar-samar, pria itu menyadari bahwa wanita itu sedang menangis. Ia bergegas menghampirinya.
“Permisi nona, kau tampak sedang menangis?” Ucap pria itu dengan nada prihatin.
Wanita itu mengusap pelan pipinya dengan punggung tangan, kemudian mengangkat syal di tangannya. “Saat merajut, terkadang aku terlalu sentimental.”
Pria itu tersenyum lalu duduk di sampingnya sambil bertanya, “sudah berapa hari di sini?”
“Baru beberapa hari yang lalu. Anda sendiri?”
“Mungkin sekitar satu pekan. Awalnya ku kira hanya akan menginap beberapa hari, namun sepertinya tidak semudah itu. Kau sendiri ingin menginap berapa hari?”
Perempuan itu menggeleng, “entahlah… Sepertinya akan lama.”
Hening sejenak. Angin berhembus pelan, mendung hitam menyelimuti langit di atas wisma.
“Kalau boleh tahu, mengapa kau ke sini?” Tanya pria itu.
Wanita itu menghela nafas panjang “Suamiku seorang pelaut di sebuah kapal besar penangkap ikan. Ia jarang sekali pulang, mungkin setahun sekali. Namun seperti apa yang sering dikatakan orang padaku, bahwa pekerjaan seperti itu tidak cocok bagi orang yang berumah tangga.
Dan entah sejak kapan, sikapnya mulai berubah. Ia bukan hanya menjadi pendiam, namun juga sering berlaku kasar padaku. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku bahwa ia akan berubah seperti dulu dan rumah tangga kami akan baik-baik saja.”
Pria itu menatap iba padanya, ada luka kecil di masa lampau yang mencuat dalam hatinya ketika mendengar cerita wanita itu.
“Anda sendiri mengapa menginap di sini?”
Pria itu berfikir sejenak, “mungkin tidak sekompleks dirimu, namun semua juga berawal dari kegagalanku berumah tangga. Setelah cerai dengan mantan istriku, aku hidup berdua dengan anak laki-lakiku. Kurasa aku akan hidup bahagia bersamanya sampai usia tua, namun pada suatu hari kami mengalami sebuah kecelakaan yang menewaskan anak laki-lakiku.”
Pria itu menghela nafas sejenak, “kejadian itu mungkin dua puluh tahun yang lalu, namun sampai sekarang aku merasa telah membunuhnya.”
Mendengar cerita pria tersebut, wanita itu sedikit memahami kerinduannya, kerinduan hadirnya seorang anak dalam rumah tangganya.
“Berhari-hari di sini, paling tidak aku dapat melihat melihat kematian anakku sebagai sesuatu yang lumrah. Kau sendiri bagaimana?”
Wanita itu menggeleng, “aku masih berusaha merajut kembali semuanya. Saat ini aku tidak tahu, seperti apa perasaanku padanya, juga seperti apa nasibnya."
Pria itu tertegun. Kemudian bertanya, “kau masih mencintainya?
“Entahlah,” wanita itu mengatur nafasnya yang mulai tidak seimbang. “Aku masih ingat bagaimana rasa panas di pipiku saat ia menamparku, bau minuman keras dari mulutnya saat berteriak di depan wajahku. Meski begitu, aku tidak punya pilihan bukan?”
“Sulit ku yakini ada lelaki seperti itu, namun sepertinya kau lebih mempunyai banyak pilihan dibanding diriku. Hidupku mungkin tak akan lama lagi, dan hal yang paling ditakutkan dari orang berusia senja adalah kesendirian. Ada banyak hal penting di luar masa lalu kita. Aku sendiri mengakui bahwa kematian anakku adalah kesalahanku, dengan begitu aku bisa menerima semua penyesalan di masa lampau itu.”
“Aku tidak bisa membicarakan isi kepalaku sepertimu. Penderita penyakit mental sepertiku seringkali membuat kesimpulan abstrak yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Aku selalu berusaha agar tidak terjebak dalam lingkaran tersebut. Dengan begitu aku bisa melihat realita dengan dengan apa adanya. Meski itu terasa terlalu nyata.” Jawab wanita itu sembari meremas syal yang dirajutnya, seakan menahan emosi yang berat.
Mendengarnya, pria itu merasa tersindir. Mungkin selama ini ia terjebak dengan pikirannya sendiri. Namun ia merasa kagum pada wanita tersebut, dengan semua penderitaan nya, ia tidak sekalipun menarasikan dirinya sebagai korban.
“Mungkin saja kau benar. Semua memang tergantung bagaimana realita mempengaruhi diri kita. Karena pada akhirnya, pengalaman hidup itu melampaui semua logika kita.”
Wanita itu memandangnya, merasakan ruang kosong yang berat dalam nada suaranya. Sudah sekian lama ia tidak merasakan difahami seperti sekarang. Pria itu seakan mampu membangunkan emosi yang cenderung disembunyikan oleh seseorang.
“Kita di sini mencari tempat bagi penderitaan kita masing-masing.” Bisik wanita itu.
Mereka saling bercerita seperti dua orang pasien di rumah sakit. Berbincang layaknya dua kutub magnet yang saling menarik, penerimaan hasil renungan panjang dengan spontanitas yang lahir dari pengalaman. Gerimis mulai turun, lelaki itu lalu pamit kembali ke kamar terlebih dulu. Meski pertemuan mereka hanya beberapa saat, di suatu tempat yang jauh, jiwa mereka seakan terikat dan saling memahami satu sama lain.
Dua hari kemudian, pria tersebut pulang. Seperti tamu pada umumnya, yang meninggalkan sebuah benda sebagai isyarat bahwa masa kelam akan ditinggalkan di sana selamanya.
Pria itu menulis sebuah surat panjang untuk anaknya dan membungkusnya dengan amplop. Sebuah surat tentang fakta pilu di masa lampau yang bermetafora menjadi sebuah penerimaan baginya.
Surat itu kemudian ia masukkan ke dalam kotak box di ujung lobi. Wanita itu pulang satu bulan kemudian. Ia memasukkan syal berwarna abu-abu yang dirajutnya selama di sana ke dalam box. Benda-benda itu dikunci rapat di sana sebagai satu titik balik kehidupan manusia.
Wisma itu bukan hanya tentang seorang pria yang kehilangan anaknya dan bertemu seorang wanita yang mengalami kenyataan pahit dalam rumah tangganya. Namun juga tentang bagaimana manusia menjangkau dunianya yang tak terfahami di luar sana. Tembok kamar wisma tersebut telah menjadi saksi banyak perasaan.
Menemani setiap tamu dalam kesunyiannya. Tidak semua tamu menemukan obat yang sesuai. Beberapa dapat sembuh dari penyakitnya meski dengan bekas luka.
Sebagian besar orang menganggap wisma tersebut seperti tempat rehab dengan segala fasilitas penyembuhan melalui daya magisnya. Sebagian yang lain menganggap sekadar tempat menyepi. Ada yang menyebutnya harapan, dan ada yang menduganya sebagai misteri.
Penulis: Rizal Ainun Naim, Santri di Pesantren Baitul Kilmah. Dapat ditemui melalui Instagram @frans219.