Yang tak Tersampaikan
Di sudut kelas, dekat dengan jendela. Duduk seorang wanita anggun nan jelita yang sedang fokus memperhatikan penjelasan dosen yang berada di depan. Wajahnya yang bundar dengan kacamata yang framenya sama dengan wajahnya... Kacamata bundar, hijab berwarna pink dengan riasan seadanya dan mata yang sedikit kecoklatan, menambah keindahan fisiknya.
Ia adalah Lara, seorang mahasiswi semester 4 di Institut Agama Islam Salahudin, sebuah kampus yang berada di kota yang cukup kecil di provinsi Jambi. Ia adalah seorang hafidzah (sebutan untuk penghafal Al-Qur’an perempuan). Lara aktif di organisasi keagamaan kampus dan juga ia adalah seorang penerima beasiswa jalur tahfidz. Lara terkenal dengan kepintarannya di bidang agama, ia ramah dan semua orang mungkin akan mengakui itu. Mungkin karena ia kuliah di jurusan pendidikan, maka dari itu ia cenderung ramah karena nantinya akan berhadapan dengan anak-anak.
Lara benar-benar wujud sempurna dari seorang perempuan. Baik hati, pintar, alim dan cantik, bahkan mungkin ia hampir layaknya seorang malaikat yang diutus ke bumi untuk membawa kebahagiaan.
Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh seorang pria yang memperhatikan Lara selama di kampus.
Tidak ada yang tau seperti apa orang lain memandang Lara. Apakah orang-orang memandang Lara sebagai wanita cantik? Baik hati? Dan sejenisnya. Tapi setidaknya, itulah yang ada di pikiran Aksa, seorang mahasiswa semester 4 yang juga satu kelas dengan Lara.
Aksa adalah seorang pria yang bertubuh tinggi besar. Tingginya sekitar 180 cm, kulit sawo matang dengan rambut keriting hitam. Ia adalah kebalikan dari Lara. Jika Lara adalah perwujudan dari malaikat yang diutus dari surga untuk turun ke bumi, maka Aksa adalah Lucifer yang ditendang dari surga, namun kebetulan terdampar di bumi.
Yah... Rasanya sedikit kasar dan tidak sopan untuk memperkenalkan Aksa seperti itu, ia tak seburuk Lucifer. Namun, ia yang kebalikan daripada Lara adalah suatu kenyataan. Jika Lara adalah mahasiswi yang aktif di organisasi keagamaan dan alim, Aksa berbanding terbalik dari itu. Ia adalah seorang mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Sebuah sebutan untuk mahasiswa yang hanya datang ketika ada jadwal masuk saja dan tidak mengikuti organisasi apapun serta akhirnya pulang ketika kuliah berakhir. Aksa juga bukan orang yang terlalu pintar di bidang agama. Bahkan, sholat saja ia masih bolong-bolong dan tidak pernah khusyuk. Benar-benar berbanding terbalik 180 derajat dari Lara.
Aksa adalah orang yang menyukai seni. Selama di kampus dan waktu kosongnya, ia selalu membaca buku ataupun menulis, bahkan sesekali ia menggambar, meskipun hasilnya tidaklah cukup baik. Sejak dulu Aksa adalah orang yang cenderung pendiam dan tidak punya pergaulan yang luas layaknya mahasiswa lain. Di kampus bahkan ia hanya memiliki 3 teman, yang itupun tidak terlalu dekat. Tapi entah mengapa... Ia jatuh cinta pada Lara.
***
Saat itu adalah awal pertama kali Aksa berkuliah, yang artinya saat masih berada di semester 1. Tidak jauh berbeda seperti saat di SMA, ia adalah pemuda pendiam yang kelabakan ketika diajak bicara, untungnya saat itu ia berada di kelas yang jumlah mahasiswanya tidak lebih dari 15 orang. Aksa sangat bersyukur dengan kondisi kelas yang tidak terlalu ramai itu. Rasa syukur dan senang itu tidak berlangsung lama, ketika seorang dosen pertama yang masuk, setelah saling berkenalan dan menjelaskan peraturan di kelasnya mengucapkan sesuatu.
“Baiklah... Kita akan melakukan diskusi makalah mulai minggu depan.”
“Sekarang kita akan membagi kelompok dan materi... Tiap kelompok terdiri dari 2 orang saja dan menulis makalah dari 1 materi yang akan dibagikan.”
Mendengar ucapan itu, tubuh Aksa lemas seperti tidak makan selama 1 abad.
“Apa?! Sial!! Baru saja aku ingin bersyukur karena kelasnya tidak begitu ramai... Sekarang malah dapat tugas kelompok.” Pikir Aksa sembari menggaruk kepala.
Sang dosen, pak Abraham mulai membagi kelompok semaunya, beliau dengan sembarangan menyebut nama pasangan tiap kelompok.
“Kelompok 1 Dira dengan Riski....”
“Kelompok 3 Rafa dan Cindy...”
Selama pembagian yang tak bisa ditebak itu, jantung Aksa rasa-rasanya ingin lepas dan berlari dari tempatnya. Kini ia pasrah dan mulai move on dari ketakutannya akan tugas kelompok.
Kini ia berharap semoga saja tidak satu kelompok dengan perempuan. Tak ada yang lebih menakutkan dan membuat grogi selain satu kelompok dengan perempuan menurut Aksa. Jika sesama lelaki, Aksa rasa lebih mudah untuk bekerjasama dan tidak akan terlalu canggung. Tapi kalau dengan perempuan...
Di saat Aksa sedang berpikir tentang hal tadi, fokusnya kini terarah pada suara pak Abraham yang kini menyebut namanya dalam pembagian kelompok tersebut.
“Baiklah... Selanjutnya kelompok 5, Aksa dan...”
Keringat bercucuran dari tubuh Aksa, saat itu mungkin menjadi salah satu momen paling mendebarkan dan menakutkan baginya, meskipun sekarang hal tersebut menjadi sebab ia jatuh cinta.
“Lara”
“Kelompok 5 Aksa dan Lara”
Aksa tercengang mendengar hal tersebut. Ia seakan dikhianati oleh ekspektasinya sendiri. Awalnya ia berharap agar tidak ada tugas kelompok, ternyata ada. Ia berharap agar tidak satu kelompok dengan perempuan, ternyata ia satu kelompok dengan perempuan bernama Lara.
“Aduh!! Sialnya aku... Sekarang bagaimana kami kerja kelompok? Kalau aku mengirim pesan duluan mungkin dia akan mengira aku ini freak... Ah!! Ini membingungkan” Lagi dan lagi Aksa berpikir hal buruk bahkan sebelum ia mengenal seorang Lara.
Di tengah kekalutan pikirannya dalam menanggapi informasi itu, suara berat dari pak Abraham yang menyebut namanya, menyadarkan Aksa.
“AKSA!! Apa tidak ada orang yang bernama Aksa?!!”
Secara spontan, Aksa mengangkat tangan.
“Ada PAK!!”
Sembari menurunkan tangan, ia melihat sekitar. Orang-orang tertawa dengan tingkahnya yang lucu di awal perkuliahan.
Selanjutnya pak Abraham memanggil nama Lara untuk memastikan siapa orangnya. Meskipun tadi sudah berkenalan, mungkin pak Abraham ingin memastikannya lagi. Dan ini menjadi kesempatan Aksa untuk melihat siapakah seseorang yang bernama Lara ini, karena saat tadi berkenalan, Aksa tidak terlalu memperhatikan perkenalan orang-orang lain.
“Lara? Siapa yang bernama Lara?”
Dan saat itulah pertama kalinya Aksa melihat sosok Lara. Penggambarannya sama seperti penggambaran Lara di awal cerita tadi. Hanya saja, saat ini belum ada rasa ataupun kekaguman tertentu dari Aksa terhadap Lara. Sampai saat setelah Lara mengangkat tangan dan mulai menurunkan tangannya, Lara menghadap ke arah Aksa yang mungkin bertujuan untuk melihat kembali teman kelompoknya nanti. Mata mereka saling menatap, dan entah mengapa hal tersebut bisa terjadi... Lara tersenyum ramah kepada Aksa. Ketika melihat hal tersebut, Aksa secara spontan memalingkan wajahnya kembali ke depan.
Jantungnya bergetar kencang.
“Apa ini? Apa yang terjadi dengan aku?”
Ini rasanya menjadi kali pertama Aksa mendapatkan senyuman seindah itu dari seorang wanita. Biasanya ia merasa bahwa setiap wanita yang ia lihat selalu memandangnya dengan wajah jijik, karena itulah ia selalu menghindar berurusan dengan wanita.
Namun kali ini berbeda. Itu bukan wajah jijik, itu benar-benar 100% no kw menurut Aksa adalah senyuman tulus dari seorang wanita kepadanya yang pertama kali ia dapatkan. Mungkin hal tersebut terasa sedikit berlebihan, namun begitulah adanya.
Senyuman itulah yang menjadi awal cerita romansa seorang pria yang menganggap dirinya pecundang, Aksa.
***
Matahari telah tenggelam, waktu menunjukkan pukul 18:02, dan dosen terakhir yang masuk di kelas hari itu menutup pertemuan yang menandakan bahwa mereka boleh pulang.
Aksa dengan lari yang kencang segera menuju ke parkiran untuk mengambil motor dan segera pulang. Setiap orang di kelas menatap ia yang berlari kencang termasuk Lara, tak seorang pun di antara mereka yang tau mengapa Aksa bertingkah laku demikian.
Setelah akhirnya Aksa keluar dari gerbang kampus, ia menghembuskan nafas panjang yang menandakan bahwa ia lega hari ini telah berakhir. Karena entah mengapa, rasanya hari ini lebih berat daripada hari-hari buruk yang pernah ia lalui dahulu. Namun perbedaannya adalah. Hari ini adalah hari yang berat, namun tidak buruk. Itulah yang dipikirkan oleh Aksa di sore menjelang malam itu sembari mengendarai motornya.
***
Sesampainya di rumah, Aksa segera berganti baju dan duduk di tempat tidurnya. Ia bersiap untuk melanjutkan membaca buku novel yang beberapa hari ini sedang ia baca, dan kali ini novel itu sedang berada dalam bagian yang paling seru. Dengan semangat menggebu-gebu, ia bersiap membuka novel itu, hingga... Suara notifikasi HP nya membuat ia meletakkan bukunya di kasur dan segera mengambil HP yang sedang berada di meja di sebelahnya.
Dengan sedikit emosi karena siapapun yang mengiriminya pesan membuat ia tidak jadi membaca, Aksa membuka handphone nya dan melihat siapa yang mengirim pesan.
Yang tampak di layar hanya nomor dan pesan yang dikirim. Artinya ini bukan kontak yang sudah pernah ia simpan.
“Siapa ini?” Pikir Aksa
Ketika ia melihat pesan yang di kirim oleh nomor tak dikenal tersebut, betapa terkejutnya ia dengan isi pesan tersebut.
“Assalamualaikum... Ini Lara yang satu kelompok dengan mu di mata kuliah pak Abraham”
“Maaf tiba-tiba ngechat, aku dapat nomor kamu dari Rendra”
Betapa mengejutkannya. Nomor tak dikenal tersebut adalah nomor dari Lara. Perempuan yang membuat Aksa hari ini merasakan hal ‘aneh’.
“Hai... Ada apa ya?” Jawab Aksa yang mengetik kalimat itu dengan gemetaran. Ini menjadi kali pertama ia berbalas pesan dalam beberapa tahun dengan perempuan selain ibunya. Hal ini membuat ia kelabakan.
“Nggak, ini mau kenalan aja soalnya kan kita satu kelompok... Sekaligus nanya, ini tugas makalahnya gimana cara kita ngerjainnya? Aku sendiri gak terlalu ngerti buat makalah wkwk” Balas Lara.
“Kalo gitu, kamu cukup cari beberapa refrensi aja dan sisanya biar saya yang cari dan sekaligus nulis makalahnya” Kali ini Aksa tidak terlalu gemetaran seperti sebelumnya. Respon ramah dan kalimat yang diketik oleh Lara entah mengapa membuat Aksa sedikit nyaman dan bisa membalas pesan yang Lara kirim dengan baik.
“Wkwkwk... Kamu kenapa formal banget gitu sampai pakai kata ‘saya’. Santai aja, aku bukan dosen kok wkwk” Ini adalah respon yang paling tidak pernah di duga oleh Aksa akan dikatakan oleh orang lain kepadanya, lebih lagi hal itu datang dari seorang perempuan.
Respon ramah dari Lara itu membuat Aksa luluh dan membalas pesan yang di kirim oleh Lara.
Tak terasa, ternyata mereka cukup banyak berkirim pesan. Meskipun isinya juga perihal kuliah dan kampus, namun itu menjadi satu-satu nya chat terlama yang pernah Aksa lakukan seumur hidupnya dengan seorang perempuan.
Aksa menutup HP nya dan kembali mengambil buku yang sebelumnya ia letakkan di kasur. Sejenak ia menatap jendela dan berpikir.
“Apa yang terjadi? Rasanya agak aneh? Apakah aku sedang merasa senang?” Pertanyaan ini muncul setelah percakapan antara dirinya dan Lara di malam itu. Setelah percakapan itu, entah mengapa detak jantungnya makin cepat.
“Ah sudahlah... Lebih baik aku segera tidur. Ini hari yang melelahkan”
Aksa memutuskan tidak jadi membaca dan mengembalikan bukunya di rak buku dan segera berbaring di kasur. Malam itu, rasa excited nya untuk membaca buku seakan telah hilang karena percakapan yang terjadi antara dia dan Lara. Padahal itu hanya percakapan biasa yang membahas perkuliahan.
***
Esok harinya di kampus, Aksa menjalani perkuliahan seperti hari sebelumnya. Karena ini masih minggu pertama kuliah, setiap mata kuliah belum ada yang masuk pembahasan atau diskusi. Hanya perkenalan dan pengantar mata kuliah oleh dosen.
Tak banyak yang dilakukan oleh Aksa di hari itu, ia hanya menghabiskan waktunya di kursi sepanjang perkuliahan. Saat salah satu dosen keluar, maka ia akan membaca buku, dan ketika dosen selanjutnya masuk ia akan menutup bukunya. Hal tersebut terus berulang hingga mata kuliah terakhir di hari itu. Tak banyak interaksi antara ia dan teman sekelasnya, hanya beberapa kali ia mengobrol dengan orang yang duduk di sampingnya yaitu Rendra dan Andi yang duduk di belakangnya. Hanya mereka berdua yang Aksa kenal di awal perkuliahan dan saling menyimpan kontak.
Bagaimana dengan Lara? Tidak ada yang terjadi pada mereka di hari itu, tidak ada komunikasi ataupun pembicaraan. Beberapa kali mereka sempat bertukar pandang, namun ketika kedua mata mereka saling melihat, Aksa segera memalingkan pandangnya ke arah lain.
Hari-hari terus berlanjut, tak banyak hal yang terjadi diantara mereka berdua. Terkadang mereka berkomunikasi perihal perkuliahan di Whatsapp dan ketika libur semester tidak berkomunikasi sama sekali karena disibukkan dengan urusan mereka masing-masing. Pada semester 2 perkuliahan, Aksa sadar bahwa yang ia rasakan saat itu adalah perasaan cinta. Dibutuhkan hampir setengah tahun baginya untuk sadar bahwa ia jatuh cinta pada Lara. Ia membutuhkan waktu lama untuk menyadari itu karena ia bingung tentang alasannya jika saja ia jatuh cinta pada Lara. Jika berbicara fisik, masih banyak wanita di kelasnya yang memiliki fisik lebih cantik, itulah yang ada di pikiran Aksa tentang cinta sebelumnya. Namun kini, pandangannya tentang cinta berubah.
Menurut Aksa ia tidak jatuh cinta pada Lara karena kecantikannya, ia jatuh cinta pada Lara karena kebaikan, sifat, dan bagaimana Lara berperilaku. Dengan semua aspek itu, Lara terlihat lebih cantik meski hanya di mata Aksa seorang.
Meskipun telah menyadari rasanya pada Lara, Aksa tidak berani mengungkapkan hal tersebut. Perasaan kurang percaya dirinya yang menganggap dirinya tak pantas untuk seorang Lara membuat ia menahan dan memendam rasa tersebut. Belum lagi, beberapa hari ini Lara terlihat dekat dengan salah satu teman Aksa yang menurut Aksa jauh lebih cocok untuk Lara jika dibandingkan dirinya.
Bagaimana tidak, seorang lulusan pondok, pintar Bahasa Arab, bisa baca kitab. Bagaimana mungkin seorang muslimah tidak jatuh hati padanya termasuk Lara. Meskipun selama ini Aksa hanya mendengar mereka membicarakan tentang mata kuliah tertentu. Namun terlihat jelas bahwa Lara senang berbicara dengannya, sedangkan Aksa hanya mengobrol bersama Lara melalui Whatsapp.
Meskipun mereka berdua terlihat cocok dan Aksa mengakui hal tersebut. Di dalam lubuk hati terdalam Aksa, ia ingin menjalin hubungan bersama Lara. Namun rasa insecure di dalam dirinya terus menghalanginya untuk berterus terang pada Lara.
***
Aksa terus memendam rasa itu hingga tak terasa mereka telah menginjak semester 4, namun hingga sekarang Aksa belum berani mengungkapkan perasaannya pada Lara. Perasaan itu masih terkunci rapat di dadanya dan tak pernah mampu terucap oleh bibirnya, yang bisa Aksa lakukan hanya melihat Lara dari jauh tanpa bisa meraihnya.
Selasa siang Aksa masuk kampus seperti biasanya, namun sepanjang perkuliahan ia tak melihat Lara.
“Apakah Lara sedang sakit?” Pikirnya
Pertanyaan itu segera terjawab ketika kosma memberitahukan bahwa Lara berhenti berkuliah saat itu.
“Teman kita yang bernama Lara memutuskan untuk berhenti berkuliah!”
Mendengar hal tersebut, Aksa kaget dan kebingungan. Selain bingung mengapa Lara tiba-tiba berhenti berkuliah, kebingungan Aksa juga menyangkut tentang perasaannya terhadap Lara.
Setelah perkuliahan berakhir dan Aksa kembali ke kamarnya, ia mencoba mengirim pesan kepada Lara. 1 Jam berlalu dan tidak ada jawaban dari Lara, kini Aksa mulai merasa cemas tentang apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini. Ia mencoba menanyai beberapa temannya tentang kontak Lara, namun teman-temannya berkata bahwa mereka pun tidak dapat menghubungi Lara.
Nampaknya Lara telah mengganti nomor handphone nya, entah alasannya karena kartunya rusak atau apapun, yang pasti hal tersebut membuat Aksa tidak mampu berkomunikasi lagi dengan Lara dan mengungkapkan perasaannya.
Lara telah pergi namun rasanya masih ada di dalam diri Aksa, ia yang terus memendam rasa itu selama ini tak sempat untuk mengungkapkannya dan mendapat jawaban. Entah itu penolakan atau penerimaan, tak ada kepastian dari itu semua.
Hidup bukanlah sebuah cerita romansa dimana kita pemeran utamanya. Memendam rasa dan berharap sebuah keajaiban akan tiba membantu kita, itu semua mustahil ada. Saat memendam rasa dan perpisahan tiba, mungkin saja kita tidak akan sempat mengungkapkan semuanya dan mungkin pula kita tidak akan bertemu lagi dengan siapapun yang kita punya rasa akan dirinya. Seperti Aksa yang kini terpisah dan tak sempat ungkapkan perasaannya pada yang tercinta “Lara”.
Penulis: Fata Syaekhan, mahasiswa dan guru honorer asal Kuala Tungkal, Jambi.