Mon, 30 Jun 2025
Esai / Kontributor / Dec 11, 2020

Corona, Lingkungan dan Sisi Kemanusiaan

Sosial media sedang hangat dengan perbincangan seputar APD dari tenaga medis yang kurang, sejumlah tenaga medis yang berniat mogok kerja kalau APD disejumlah Rumah Sakit tidak terpenuhi. Mungkin hampir setiap hari sosial media mengabarkan berita tersebut, yaa. Siapa yang tidak kenal virus yang satu ini, coronavirus itu merupakan keluarga besar virus yang dapat menyerang manusia dan hewan.

Nah, pada manusia, biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernafasan, mulai dari flu biasa hingga penyakit serius, seperti MERS dan SARS. Coronavirus merupakan jenis baru ini diberi nama Coronavirus Disease-2019 atau yang kita kenal menjadi COVID-19. COVID-19 sendiri merupakan coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia di daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China pada tahun 2019(1).

Penyebaran penyakit menular ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi, akan tetapi jenis virus ini menjadi sangat berbahaya dikarenakan sudah menjadi penyakit global yang penularannya berkembang pesat dibeberapa Negara maju maupun berkembang, salah satunya Indonesia sendiri.

Dikutip melaui laman m.liputan6.com menyebutkan perkembangan virus ini sudah menyerang total kasus pasien positif Corona sebanyak 2.783 orang. "Update Corona selasa 7 April: Total pasien positif Covid-19 ada 2.738 orang "ujar Achmad Yurianto, dalam konferensi pers di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Selasa, 7 April 2020(2).

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus COVID-19 akan mengalami penyakit pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Orang yang lebih tua, dan mereka yang memiliki masalah medis mendasar seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan kanker lebih mungkin mengembangkan penyakit serius.

Saat ini, COVID-19 ini membuat kita sadar akan pentingnya menjaga kesehatan pribadi maupun kesadaran bersosial. Beberapa anjuran dari berbagai lembaga sendiri agar kita tetap menjaga jarak, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dan juga mengurangi aktivitas berupa berkumpul dengan orang-orang.

Bila kita telisik lebih jauh kedalam terkait perkembangan virus menular ini. Beberapa sektor memiliki dampak atau bisa dikatakan sebagai penyebab penyakit menular ini berkembang. Salah satunya yakni perubahan iklim, apakah ini salah satu kesiapan kita menghadapi tahun pemanasan global yang di tetapkan oleh WHO menyatakan pada tahun 2020 batas maksimal dengan 1,5 %.

Perbincangan pemanasan global telah menjadi salah satu topik permasalahan terbesar yang dihadapi pada abad ke-21 ini. Berbagai masalah yang akan muncul dari dampak pemanasan global tentunya akan mengancam kehidupan di Bumi. Dampak tersebut terlihat berkaitan dan dapat memunculkan dampak negatif lainnya. Pertanyaannya apakah kita sudah siap dengan kondisi ini?

Bagaimana perubahan iklim memengaruhi penyakit?

Saya ambil contoh pada negara Afrika terkait perkembangan penyakit menular, yakni nyamuk. Saat dunia menghangat, nyamuk akan berkeliaran diluar habitatnya saat ini, menggeser beban penyakit seperti malaria, demam berdarah disebabkan oleh virus yang dibawa oleh nyamuk tersebut.

Beberapa penelitian mempekirakan ini tergantung pada tingkat perubahaan iklim. Dalam penelitiannya mengatakan bagaimana perubahan iklim akan mengubah dimana spesies nyamuk paling nyaman dan seberapa cepat mereka menyebarkan penyakit di seluruh dunia. Nyamuk dan serangga mengigit lainnya menularkan banyak penyakit menular pada manusia.

Pada suhu panas, nyamuk lebih aktif menggigit dan terbukti perkembangan ekonomi dan suhu yang lebih dingin membuat sebagian besar penyakit yang ditularkan nyamuk berkurang. Suhu yang lebih hangat meningkatkan penularan penyakit yang ditularkan melalui vector ke suhu optimal atau “titik peralihan”.

Sama seperti halnya nyamuk, perkembangan tersebut berbeda disesuaikan dengan berbagai suhu. Seperti contoh, Malaria menyebar pada suhu 25oC(78oF) sedangkan risiko zika paling tinggi pada suhu 29oC(84oF)(3).

Pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa jika iklim menjadi lebih optimal untuk penularan, maka akan menjadi semakin sulit untuk melakukan pengendalian nyamuk. Saat planet ini menghangat, kita harus dapat memprediksi populasi yang akan beresiko terkena penyakit menular karena bencana non alam yang bisa saja terjadi tanpa diminta kehadirannya.

Polusi udara perkotaan telah menurun di Negara-negara maju, pemahaman terkait lingkungan yang sehat memiliki dampak terhadap kesehatan telah meningkat. Pasien dengan kondisi paru-paru dan jantung kronis yang disebabkan atau diperburuk oleh paparan polusi udara jangka panjang kurang mampu melawan infeksi paru-paru sampai kemungkinan meninggal. Ini mungkin juga kasus untuk COVID-19. Udara kotor menyebabkan kerusakan paru-paru dan jantung menyebabkam infeksi pernafasan, seperti coronavirus yang mungkin memiliki dampak paling serius pada penduduk kota yang terpapar asap beracun daripada yang lain(4).

Bisa dikatakan bahwa krisis iklim meningkatkan prevalensi dan penyebaran penyakit, yang secara tidak proporsional berdampak pada orang miskin. Demikian juga, COVID-19 memulai penurunan ekonomi dan berdampak secara tidak proporsional pada mereka yang tidak memiliki asuransi atau akses ke perawatan kesehatan, memperkuat dampak krisis iklim pada masyarakat yang terpinggirkan.

COVID-19 membuat semua orang lebih rentan terhadap efek percepatan krisis iklim. Krisis iklim adalah pengganda ancaman, seperti halnya coronavirus. Dengan menurunkan tingkat polusi udara dapat melawan penyakit menular dan kemungkinan pandemik di masa depan. Mari sama-sama melawan hal yang memungkinkan tersebut terjadi dimasa depan. Merawat lingkungan demi menjaga masa depan.

Pandemi membawa ketidakadilan ekonomi dan budaya kita ke dalam pertolongan akut: dari meningkatnya pekerja budak di penjara-penjara Hong Kong karena angkatan kerja yang tertekan, hingga perlakuan buruk para migran. Ini menyoroti bagaimana krisis ekologis membahayakan kesehatan masyarakat, dari mereka yang tidak minum air bersih untuk mencuci tangan mereka yang kesehatan pernapasannya buruk karena polusi. Baik untuk krisis iklim dan coronavirus, orang yang sama akan mendapat manfaat: mereka yang ada di pucuk pimpinan kapitalisme.

Seperti diskusi yang saya ikuti Jumat 27 Maret 2020 sendiri, dimana dalam pembahasan kelas iklim ini bagaimana sistem perekonomian sangat berpengaruh, kita diajak untuk menelisik kembali bagaimana para subsidi dari koruptor ditanggung oleh pemerintah. Pengandaian tersebut dengan biaya impisit pada kelestarian alam, bahwa faktanya pertahun total kerusakan lingkungan (hutan mangrove) mencapai Rp913 Miliar.

Coba bayangkan ketika kita mampu menjaga kelestarian lingkungan dipinggir pantai saja, uang yang diarahkan untuk perbaikan subsidi ini bisa menjadi sumber perbaikan penyakit pandemik sekarang. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa subsidi dari koruptor ini dialokasikan untuk penanganan corona seluruh Indonesia saat ini. Pada akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa dampak biaya sosial korupsi bisa menjadi bantuan sementara waktu untuk bumi ini.

Kausalitas dari dongeng COVID-19 juga memantik sisi kemanusiaan dalam menjalankan misi penyelamatan. Ditengah krisis ekonomi ini, Kita dipantik untuk lebih peduli terhadap sesama. Apakah Kita akan diam atau tidak, itu pilihan Yang masing-masing memiliki konsekuensi tersendiri.

Komunitas-komunitas yang sudah banyak melakukan aksi untuk tanggap COVID-19. Ungkapan bahwa petugas kesehatan adalah garda terdepan menurutku keliru. Kita semua adalah garda terdepan dalam penanganan ini, semua elemen masyarakat, pemerintah daerah, lembaga, komunitas memiliki peran penting semua.

Sembari pemerintah tanggap dalam bencana, kita semua mesti punya peran untuk hal itu. Betapa bangga bahwa disaat kondisi ini, disaat physical distancing tapi beberapa orang-orang baik merelakan dirinya demi orang lain. Semoga orang-orang tersebut senantiasa diberi kesehatan. Aamiin.

Panggilan ini merupakan raungan dari Bumi. Coronavirus memaparkan kepemimpinan disfungsional kita dan memicu cara-cara baru dalam merawat satu sama lain. Mungkin kita bisa fokus kembali pada perawatan kolektif, kerja sama, dan komunitas. Apa pun yang terungkap, investasi terbaik yang dapat kita lakukan adalah di masyarakat yang sudah sangat melindungi kesehatan Bumi dan rakyatnya.

Referensi
(1)World Health Organization. 2020. Covid-19.
(2)Mevi Linawati. 2020. m.liputan6.com
(3)Earth.stanford.edu. 2019. How does climate change effect disease?
(4)Damian, 2020. Air Pollution likely to increase coronavirus death rate, warn experts. The Guardian

 

Penulis: Wilda Amrah, berkomunitas di Koalisi Pemuda Hijau Indonesia regional Sulawesi Selatan.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.