Dilema Kebijakan COVID-19
Dilema pemerintah Indonesia mengambil kebijakan begitu nampak. Himbauan social distancing dan physical distancing terhadap masyarakat telah dilakukan agar mempan mencegah penyebaran virus mematikan ini. Masihkah kita menganggap pandemi ini adalah hal yang remeh temeh? Masihkah pula efektif jika hanya himbauan social distancing dan physical distancing saja yang ditekankan untuk menekan penyebaran virus?
Mengingat tingkat disiplin masyarakat untuk konsisten melaksanakan himbauan sangat rendah. Ini terlihat masih banyaknya masyarakat yang berkeliaran di tempat-tempat umum, aktif bekerja untuk kebutuhan sehari-hari, masih adanya terminal dan bandara yang ditemui meleluasakan penduduk keluar masuk dari daerah satu ke daerah lain. Wajar jika dari hari ke hari gejala meningkatnya penyebaran COVID-19 di setiap provinsi semakin meluas begitu saja.
Berbagai tuntutan masyarakat agar pemerintah segera melakukan lockdown telah diutarakan di media sosial. Berkaca pula pada keluhan tim medis yang kewalahan mengatasi pasien sedang dalam masa pengawasan terlebih pada pasien yang sudah dinyatakan positif terjangkit COVID-19 yang kini tidak henti-hentinya bertambah.
Perlu kita kaji bersama, lockdown adalah penguncian wilayah baik secara parsial ataupun total. Dalam aturan kita disebut karantina wilayah. Sebenarnya sudah ada beberapa wilayah yang menerapkan lockdown secara parsial, misal di Tegal telah diterapkan local lockdown selama 4 bulan dan di Papua telah lebih dulu menutup pintu masuk utama Bandara Sentani tanpa perlu menunggu intruksi pemerintah pusat. Sementara, Gubernur DKI Jakarta telah mengirim surat permohonan izin karantina wilayah. Namun Pemerintah pusat sendiri sampai sekarang bersikukuh mempertegas tidak akan ada lockdown secara total.
Melansir dari Litbang CNN (29 Maret 2020), sebagai bahan pertimbangan sejumlah negara telah mengambil langkah lockdown secara total, antara lain Malaysia menerapkan selama 4 minggu lockdown kurang lebih 2.031 kasus dan 24 meninggal, India yang baru-baru ini juga memutuskan untuk lockdown selama 21 hari namun, berujung kekacauan dan kelaparan.
Tiongkok yang menjadi episentrum pandemi ini telah melaksanakan lockdown selama 2 bulan 2 minggu dan upaya tersebut berhasil sehingga di Kota Wuhan sudah mulai dibuka kembali. Ada pula yang hanya menerapkan semi lockdown misal Amerika yang menutup beberapa kota seperti New York dan California. Filipina pun turut menutup ibukotanya. Hal ini dilakukan untuk menekan angka penyebaran COVID-19.
Sebaiknya, untuk menerapkan kebijakan membutuhkan persiapan dan pertimbangan yang matang. Tidak langsung begitu saja. jika tidak memilih untuk lockdown diharapkan perlu disiplin yang ketat dalam menjalankan social distancing dan physical distancing sebagaimana himbauan pemerintah.
Mengutip penegasan Ir. Jokowi Dodo selaku Presiden RI yang diwartakan Tribun News, “Lockdown tidak menjadi pilihan karena akan menganggu perekonomian. Tetapi saya lebih memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan maksud aktivitas ekonomi tetap berjalan, namun tetap ada sejumlah pembatasan.’’
Namun, bisakah pemerintah pusat menjamin dan mengawasi secara ketat arus keluar masuk orang/barang antar daerah yang satu ke daerah yang lain?
Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Meminjam pendapat Ihza Yusril Mahendra terkait Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSSB “tidak ada penjelasan yang menjelaskan bagaimana Pemda mengatasi arus keluar masuknya orang atau barang, sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan bisa menjangkau daerah lain diluar yuridiksinya.”
Jangan sampai pemerintah terlambat melaksanakan lockdown secara total, hanya karena dilema kebijakan. Sebelum lebih banyak korban jiwa dan bertambahnya pasien positif.
Jika seandainya lockdown dilakukan, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, pengusaha, pegiat pendidikan, penegak hukum, masyarakat kalangan atas maupun bawah harus konsisten bekerjasama, baik membantu secara materil maupun nonmateril. Sejauh ini, telah banyak pengusaha atau pejabat yang tengah menyumbang sebagai bentuk partisipasi mereka dalam melawan pandemi COVID-19 ini.
Sembari tim medis juga berupaya keras menyembuhkan para pasien dan mengembalikan kondisi negeri sehat seperti semula. Tak kalah pentingnya ialah kesadaran masyarakat agar tetap mengindahkan tagar #dirumahsaja. Yang jadi masalah tidak jarang kita temui oknum-oknum yang memanfaatkan situasi dimasa-masa genting seperti ini.
Ambil pemisalan, di lingkungan masyarakat setempat kini harga masker, hand sanitizer, dan alkohol melonjak naik tidak seperti harga seperti biasanya. Parahnya, terjadi penipuan di mana-mana akibat kelangkaan masker sehingga masyarakat berambisi dengan cara apapun justru memesan untuk dijual kembali dengan harga yang tidak normal.
Pengamat perkembangan COVID-19, Muhammad Firwansyah selaku ketua Oi menyarankan “Apapun bentuk kebijakan yang diterapkan, jangan setengah-setengah. Semisal memilih untuk karantina wilayah, yah disinilah peran aparat keamanan dan ketahanan negara untuk menjaga wilayah perbatasan daerah/kota atau tempat-tempat pada umumnya dan menghukum apabila ada yang melanggar kesepakatan tersebut.” ujarnya saat ditanya persoalan permasalahan COVID-19 via whatsaap.
Patut diapresiasi upaya pemerintah selama ini. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan. Tinggal kerjasama kita agar memasifkan pengawasan dan pelaksanaannya. Bagaimana bisa mengakhiri pandemik COVID19 jika tidak ada kerjasama yang serius antar pemerintah dan masyarakat?
Untuk itu, harap penulis “Bersama-sama melawan adalah satu-satunya cara membunuh pandemi ini.”
Penulis: Susi Susanti, kader HMI Cabang Takalar.