FOMO, YOLO, dan FOPO: Generasi yang Lelah?
Mereka cemas kalau tertinggal. Takut tak menikmati hidup. Gelisah dinilai gagal oleh mata orang lain. Itulah generasi kita hari ini—anak-anak digital yang tumbuh dengan jempol, scroll, dan viral.
Tiga rasa takut itulah yang menjelma dalam istilah FOMO (Fear of Missing Out), YOLO (You Only Live Once), dan FOPO (Fear of Other People’s Opinions). Ketiganya kini menjadi wajah baru dari kelelahan sosial para Sapiens di abad ke-21.
Bagaimana ketiganya beroperasi dan menyergap generasi kita ini? Pertama FOMO, gejala ini memicu kegelisahan yang tak berkesudahan. Dalam riset Przybylski dkk., FOMO didefinisikan sebagai bentuk kecemasan yang timbul karena merasa tertinggal dari orang lain.
Gejalanya tidak selalu kentara, misalnya Ia membeli apa yang sebetulnya tidak perlu, datang ke acara yang juga tidak penting, mengiyakan segala ajakan yang seharusnya ditolak—hanya agar tidak “tampak” ketinggalan dari orang lain. Padahal, sering kali yang ditunjukkan hanyalah pencitraan yang “mengkilau” di permukaan, namun rapuh di balik layar.
Sementara YOLO, semboyan hidup yang semula mengajak untuk menikmati hidup secara penuh, perlahan bertransformasi menjadi pembenaran atas berbagai keputusan impulsif. Kita hidup sekali, katanya. Maka, mengapa harus menabung bila bisa berlibur ke luar negeri sekarang?
Namun realitas tak selalu seindah harapan. Banyak anak muda justru terjebak dalam utang konsumtif, krisis identitas, hingga kelelahan emosional. YOLO berubah menjadi “you only live once, but you suffer for it forever”.
Lalu FOPO—penyakit sosial yang tak kalah menggerogoti. Terlalu peduli apa kata orang, generasi ini kehilangan keberanian untuk berbeda. Ketakutan akan komentar negatif, cibiran netizen, atau penilaian teman sekantor membuat mereka hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sosial. Banyak ide besar mati di kepala, banyak langkah tertahan di kaki—semata karena takut dianggap aneh atau berbeda.
Apa yang membuat ketiganya subur? Jawabannya ialah sistem sosial yang terlalu menekan, ruang publik yang terlalu bising, dan algoritma yang terlalu manipulatif.
Hal ini perburuk oleh pendidikan kita yang mencetak anak-anak juara kelas, tapi lupa mengajarkan cara menjadi manusia yang siap menghadapi kegagalan. Ekonomi kita membanggakan pertumbuhan, tapi gagal memberi rasa aman. Media sosial membuat kita merasa selalu kurang—kurang cantik, kurang kaya, kurang bahagia.
Saat Dunia Terlalu Bising
Masyarakat digital hari ini bergerak dalam kecepatan yang tidak manusiawi. Setiap waktu adalah deadline, setiap ruang adalah etalase, dan setiap manusia adalah brand. Dalam ekosistem ini, kita diajak untuk terus membandingkan diri, membuktikan diri, dan menjual diri.
Tidak heran bila tekanan mental menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Psikolog Barry Schwartz menyebut ini sebagai “paradox of choice”: semakin banyak pilihan, semakin besar kecemasan. Kita dituntut selalu memilih dengan cepat, padahal tidak pernah diajarkan bagaimana cara memilih dengan bijak.
Faktor lain yang memperparah adalah budaya performatif yang berkembang di media sosial. Segala hal diukur dengan impresi, like, dan engagement. Bahkan kegiatan-kegiatan yang semestinya personal seperti membaca buku, beribadah, atau berlibur pun harus “dipertontonkan” agar valid.
Ini menciptakan generasi yang haus validasi, dan merasa gagal ketika tidak mendapat pengakuan sosial. Dalam konteks ini, eksistensi bukan lagi soal keberadaan sejati, tapi soal seberapa sering tampil di linimasa.
Tidak mengherankan jika kemudian banyak anak muda merasa hampa meski terlihat “sempurna” di media sosial. Mereka bisa tertawa di layar, tapi menangis saat layar dimatikan.
Mereka bisa tampil berprestasi di depan umum, tapi diliputi kecemasan saat sendirian. Ini bukan soal lemah mental, melainkan soal bagaimana struktur sosial kita gagal membangun ruang hidup yang otentik dan suportif.
Maka, sudah saatnya narasi besar bangsa ini berubah. Kita tidak bisa terus-menerus menyuruh generasi muda "bangkit" tanpa pernah mengakui bahwa mereka sedang lelah. Tidak cukup meminta mereka “kuat” tanpa pernah menghadirkan pelukan sosial yang memberi ruang untuk rapuh.
Pendidikan harus mengajarkan empati, bukan sekadar prestasi. Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pelindung martabat manusia. Karena bila tidak, maka kita sedang membiarkan generasi masa depan hidup dalam dunia yang kencang tapi kosong, meriah tapi sepi, dan sibuk tapi kehilangan makna.
Negara pun absen dalam hal ini. Kesehatan mental belum menjadi prioritas. Laporan WHO (2022) menyebutkan bahwa angka gangguan kecemasan dan depresi meningkat tajam di kalangan usia produktif. Namun hingga hari ini, model kebijakan publik terhadap kesehatan mental masih terkesan tambal sulam.
Di sisi lain, narasi-narasi motivasional terus digaungkan: kerja keraslah, dan semacamnya—seolah semua masalah bisa selesai dengan motivasi. Padahal generasi ini boleh jadi bukan kekurangan motivasi. Yang kurang adalah sistem yang adil, ruang sosial yang ramah untuk gagal, dan pengakuan bahwa menjadi cukup pun adalah bentuk pencapaian.
Kebijakan pendidikan masih sibuk mengejar skor, bukan karakter. Akses terhadap pekerjaan dan rumah makin sempit, tapi seminar motivasi dan quotes positif terus disodorkan seolah semua bisa diselesaikan dengan motivasi.
Sekali lagi, yang dibutuhkan generasi ini bukan semata semangat, tetapi sistem yang adil. Mereka butuh ruang untuk gagal tanpa ditertawakan. Butuh pengakuan bahwa tak semua orang harus sukses di usia 25. Bahwa menjadi cukup adalah pencapaian, bukan kegagalan. Bahwa istirahat bukanlah dosa.
Generasi FOMO, YOLO, dan FOPO adalah potret zaman. Mereka bukan lemah. Mereka hanya hidup di zaman yang begitu suram. Maka, tugas kita bukan menghakimi, melainkan memahami—dan bersama-sama menciptakan dunia yang lebih baik.
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Dosen FEB UNM.