Jangan Lupakan Omnibus Law
Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah disibukkan dalam penanganan wabah virus COVID-19. Virus ini telah merenggut banyak korban jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah lebih dari 100 korban yang meninggal dunia, sementara korban positif terus bertambah setiap harinya.
Berbagai upaya penanganan pencegahan penyebaran virus COVID-19 dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari kebijakan social distancing (jarak sosial), hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini diharapkan dapat memutus mata rantai penyebaran virus dari orang ke orang.
Kebijakan social distancing dikampanyekan oleh berbagai pihak melalui tagar #dirumahaja. Kebijakan ini menghimbau masyarakat agar melakukan aktifitas di rumah, seperti bekerja, belajar, hingga pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak massa hanya dilakukan melalui daring/online.
Ironisnya, ditengah penyebaran virus COVID-19 yang masih berlangsung, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tetap melakukan rapat paripurna yang membahas Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam rapat paripurna yang digelar di gedung senayan tersebut, anggota DPR RI membacakan surat presiden RUU Omnibus Law cipta kerja.
Namun, berbagai pihak menyayangkan hal ini. Alih-alih fokus dalam memaksimalkan sumber daya untuk membantu masyarakat, mereka justru semakin gencar dalam menyelesaikan RUU kontroversi tersebut. Bahkan telah menyepakati RUU tersebut diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg).
Pemerintah dan DPR terkesan abai dalam menerima kritik dari masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam membahas hanya bersifat formalitas. Mereka menghindari perdebatan publik dengan opsi ruang aspirasi online.
Apirasi online yang ditawarkan tentu berbeda dengan tatap muka secara langsung. Meski pada dasarnya substansi kritik tetap sama. Namun, kualitas perdebatan publik tidak mencapai titik maksimal jika hanya dilakukan secara online.
RUU Omnibus Law yang tetap dibahas ditengah wabah COVID-19 ini membuat masyarakat semakin bertanya-tanya. Seberapa penting RUU tersebut untuk dibahas? Mengapa pembahasan RUU tersebut tetap saja dilakukan, padahal masyarakat lebih butuh bantuan penanganan COVID-19.
Buruh dalam hal ini kelas pekerja yang menerima dampak dari RUU Omnibus Law, tentunya menolak pembahasan yang dilakukan oleh DPR-RI. Kebijakan pemerintah yang melarang pertemuan untuk mengumpulkan banyak massa di ruang publik semakin memperparah kondisi tersebut. Dilematis buruh dalam menolak pembahasan RUU tersebut ditengah wabah COVID-19 tidak dapat dihindari.
Belum lagi, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan yang menghantui para buruh. Ekonomi global yang kacau membuat perusahaan-perusahaan memilih opsi demikian, untuk menyelamatkan kapital agar tetap survive. Sehingga buruh tidak memiliki pilihan selain menggantungkan nasib pada perusahaan tempatnya bekerja.
Pembahasan RUU Omnibus Law yang dilakukan oleh DPR-RI sudah hampir mencapai final. Sementara belum ada penelitian yang dapat memastikan kapan wabah ini akan berakhir. Jika terus dibahas ditengah wabah saat ini, hal ini akan mencederai prinsip demokrasi di Indonesia.
RUU Omnibus Law masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Dibutuhkan perdebatan-perdebatan publik dan pendiskusian lebih lanjut agar RUU tersebut dapat disahkan tanpa mengundang kekacauan di masyarakat.
Untuk itu, kita semua berharap agar DPR-RI tidak melanjutkan pembahasan RUU omnibus law ditengah wabah penyebaran COVID-19. DPR-RI sebaiknya memaksimalkan kinerja dalam membantu masyarakat yang terdampak langsung, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Dengan begitu, masyarakat akan mendukung penuh kerja-kerja DPR RI ketimbang membahas RUU Omnibus Law yang masih kontroversi. Sehingga penyebaran wabah virus COVID-19 dapat segera berakhir.
Penulis: Mull, freelance.