Kuliah Online atau Sika Online?
Pendidikan merupakan sesuatu yang lumrah atau biasa terdengar di telinga kita, di Indonesia negara bertanggung jawab atas pendidikan yang layak bagi seluruh rakyatnya. Dan tujuan pendidikan di Indonesia telah tercantum dalam UUD 1945 “....mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ....”.
Saat ini dunia sedang di gemparkan dengan munculnya suatu pandemik virus yaitu Covid-19 atau yang biasa kita kenal dengan virus Corona, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China pada Desember 2019. Orang yang terinfeksi Covid-19 memiliki tingkat penularan yang lebih cepat. Hal ini sangat berdampak pada dunia pendidikan karena banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang ditutup di beberapa negara untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Indonesia sendiri dilansir dari CNN Indonesia hingga 4 April 2020 sudah tercatat 2.092 terinfeksi, 191 meninggal, dan 150 yang sembuh. Upaya pemerintah dalam menyikapi penyebaran Covid-19 salah satunya dengan mengeluarkan surat edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang pencegahan Covid-19 pada satuan pendidikan, dan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020, maka kegiatan belajar mengajar pun dialihkan secara daring dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Seperti yang dilakukan di seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada diseluruh Indonesia dengan memberlakukan sistem kuliah daring, yaitu sistem perkuliahan yang memanfaatkan akses internet dan aplikasi pembelajaran sebagai media pendukung.
Tetapi apakah perkuliahan daring ini sudah efektif membuat kita tetap tinggal di rumah? Mungkin tidak, karena banyak pihak dosen yang memberikan perkulihaan tanpa melihat situasi dan kondisi, contohnya dari segi jaringan untuk mengakses internet setiap daerah pasti memunyai kecepatan jaringan yang berbeda beda, jaringan yang ada di kota akan lebih cepat daripada jaringan yang ada di desa.
Sedangkan kebanyakan mahasiswa yang kuliah di kota itu berasal dari daerah atau kampung yang mungkin kekurangan jaringan untuk akses internet. Jadi dengan terpaksa harus keluar rumah untuk mencari jaringan, tentu itu tidak sesuai dengan tujuan dari perkuliahan online ini yaitu membuat mahasiswa tetap menerima perkuliahan tanpa harus keluar rumah.
Banyak pula Dosen yang memberikan perkuliahan dalam bentuk video yang bisa diakses di beberapa aplikasi youtube, skill academy dan beberapa lainnya, tentu itu sangat memberatkan dari segi penggunaan kuota internet, dengan terpaksa para mahasiswa harus merogoh kantong dalam-dalam untuk membeli kuota internet yang tidak murah harganya.
Kita lihat sekarang kurangnya subsidi dari pihak kampus untuk meringankan beban mahasiswa selama kuliah daring. Lantas di kemanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang katanya di gunakan untuk biaya operasioal, apakah kuota internet bukan biaya operasional yang di gunakan dalam menunjang proses perkuliahan daring?
Yang paling di keluhkan oleh mahasiswa yaitu banyaknya tugas yang di berikan oleh dosen tanpa melihat situasi dan kondisi. Bukannya menjaga kesehatan mahasiswa justru di buat stress lantaran tugas yang diberikan tidak sesuai jam kuliah yang ada di jadwal dan jika seseorang mengalami stress mereka akan rentan terhadap penyakit dan susah untuk sembuh, parahnya lagi dosen hanya memberikan tugas tanpa memberikan penjelasan, dan petunjuk atau semacam Standar Operasional Prosedur (SOP). Dengan banyaknya mahasiswa yang merasa tersiksa, muncullah beberapa statement lucu salah satunya :
Kampus lockdown, tugas smackdown ,mahasiswa down. Kuota sekarat ilmu tak dapat.
Pernyataan diatas jika dibaca memang lucu akan tetapi jika dicermati lebih dalam itu cukup mewakili perasaan mahasiswa semenjak di berlakukannya kuliah online ini dan kurang bijaknya pemerintah dalam bersikap. Ini mungkin bisa menjadi bahan evaluasi bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makariem yang katanya akan mengurusi Perguruan Tinggi yang awalnya dibawah naungan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikann Tinggi. Beliau harus menekankan kepada perguruan tinggi agar menuntut dosen-dosennya untuk lebih kreatif dalam memberikan pembelajaran sehingga tidak memberatkan mahasiswa.
Penulis: Indra Lesmana, mahasiswa Ekonomi Pembangungan Universitas Negeri Makassar.