Bantuan Sosial Tidak Untuk Ajang Pencitraan
Drama di tengah makhluk imut ternyata makin berbelit, menggelisahkan dan merenggut nyawa yang tak sedikit. Di tengah kekacauan ini pula, rupanya muncul banyak kebijakan yang hendak dipandang sebagai bentuk pertolongan. Tapi sebenarnya, itu tak lebih dari sequence dengan skrip tak rapi dari penulis sewaan agensi +62.
Terbukti ketika melakukan big close up, banyak tangan kotor yang semestinya tak layak untuk disorot namun mendapat peran paling berpengaruh. Bukankah identik dengan main tittle popular di Indonesia saat ini?
Sedikit gambaran dari keidentikan yang dimaksud adalah ketika mensos mengakui bahwa bansos sempat tersendat karena menunggu tas “bantuan presiden”. Seperti dilansir (Merdeka.com 29/04). Menteri Sosial (mensos) Juliara Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus corona, sempat tersendat.
Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Pembungkus tersebut tidak tersedia dikarenakan produsen tas yang mengalami kesulitan import bahan baku yang menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia.
“Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import” katanya kepada wartawan (29/04). Tas untuk mengemas sembako itu berwarna merah putih dan bertuliskan ‘bantuan presiden RI bersama lawan COVID-19’. Seolah bantuan dikeluarkan langsung oleh presiden Jokowi, padahal sumber dana bansos asalnya juga dari APBN yang dipungut dari uang rakyat. Apa sepadan bualan tas pembungkus harus bersanding dengan nyawa melayang sebab lapar?
Sepertinya kita wajib cerdas untuk mendapatkan akal sehat. Sebab, dilapangan didapati banyak orang dengan pengharapan tinggi terahadap pemerintah, tapi justru disuguhi lolucon aneh yang katanya bantuan terhambat hanya karena tas pembungkus.
Kasus semisal pun terjadi, seperti foto bansos yang viral di media sosial terkait penanganan virus corona. Dalam paket bantuan hand sanitizer, tertempel wajah Bupati Klaten Sri Mulyani. Unggahan itu disusul oleh foto berbagai paket bantuan sosial yang juga ditempeli wajah politikus PDIP tersebut. Mulai dari beras, masker hingga buku tulis untuk siswa diwarnai wajah Sri.
Kritik keras akhirnya bermunculan dari warganet pengguna twitter berisi unggahan #BupatiKlatenMemalukan, yang kemudian trending topic pada (27/04). Kejadian politisasi bansos tak hanya terjadi di Klaten, namun surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada warga juga menuai polemik. Dalam surat itu Anies berharap bantuan sosial tersebut dapat meringankan beban warganya sekaligus mengajak masyarakat bersama menghadapi krisis corona (CNN Indonesia,29/04).
Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad mengatakan cara ini lazim diterapkan kandidat pertahanan jelang pemilu. Namun tak tertutup kemungkinan cara ini dilakukan oleh kepala Negara atau kepala daerah yang sudah tidak akan berkompetisi lagi. Misalnya mempertahankan dukungan warga terhadap kepemimpinannya.
Dengan kata lain, sebenarnya ini upaya untuk mendapatkan cinta semua orang. Namun alih-alih mendapat pengakuan justru tagar ‘miring’ menjadi ‘buming’. Segalanya tampak begitu jelas, bahwa yang mereka lakukan bukan karena ingin melindungi sebagaimana mestinya, tapi berusaha menuntaskan keserakahan yang menguntungkan secara personal. Inilah watak demokrasi, yang pelaksanaan kekuasaannya butuh tumbal.
Kita lihat faktanya ditengah COVID-19 yang semakin menambah derita rakyat. mulai dari ibu hamil dan tiga balita lemas karena kelaparan di tengah kebun, belasan mahasiswa yang nekat mudik karena kelaparan di kota rantau, seorang ibu dengan 4 orang anak harus bertahan hanya dengan minum air putih atau pilunya bapak tukang becak yang tak kuat menahan lapar akhirnya ambruk.
Kekacauan yang terjadi pada Negeri tercinta adalah bukti pemimpin yang gagal menjadi perisai. Padahal jelas sabda Rasulullah dalam HR. Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.”
Berbanding terbalik apabila seorang pemimpin mengambil Islam sebagai aturan kebijakan. Hal ini dapat disejajarkan dengan kisah sahabat Rasulullah yakni Khalifah Umar pada saat masa kepemimpinannya yang dihadang musibah paceklik dan kelaparan.
Yang beliau lakukan adalah membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mal hingga kebutuhan masyarakat terpenuhi. Sementara ia hanya makan cuka dan minyak karena tak ingin menyandang gelar pemimpin yang buruk jika ia kenyang sementara rakyatnya kelaparan. Ini bukan ambisi pencitraan, tapi murni kesadaran hubungannya dengan Allah dan hanya berharap balas dari Allah.
Khalifah Umar Radiyallahu ‘anhu merupakan salah satu dari sekian banyak sosok pemimpin binaan Rasulullah yang sepatutnya jadi teladan, khususnya dalam penanganan musibah yang menggerogoti rakyat. Tapi mustahil ketika Islam tak di terapkan secara menyeluruh oleh negara dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.
Penulis: Melisa, mahasiswa dan aktivis BMI.