Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 30, 2020

Degradasi Nilai Bahasa Indonesia

Menganut agama harusnya dibekali dengan modal pemantasan diri, hingga kita benar-benar menyelami esensi sebuah agama yang diyakini. Beragama bukan sekedar simbolitas tak bermakna yang hanya memberikan kesan bahwa kita adalah manusia pemeluk satu keyakinan.

Hidup di tengah hiruk pikuk negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbanyak di dunia, merupakan suatu kebanggaan akan ke Aku an sebagai seorang muslim. Islam sebagai agama yang diwahyukan Tuhan kepada Muhammad dan dianut oleh penduduk Bumi sejak dilahirkan hingga ajal menjemput ialah suatu karunia yang patut disyukuri.

Dalam kondisi sosial, Islam dengan berbagai fenomena-fenomena kompleks di tengah masyarakat, kerap kita jumpai orang-orang yang mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab, semisal “Antum, ana, syukron,” dan ini nyata! Saya sebut sebagai gelombang arabisasi bahasa.

Secara pribadi, kurang sepakat dengan narasi “Bahasa itu beragama.” Sebab, bahasa itu alat komunikasi antar manusia, sedangkan agama itu keyakinan. Komparasinya jelas berbeda.

Memprihatinkan, tatkala bahasa Indonesia dicampur aduk dengan bahasa asing karena membuat masyarakat menjadi semakin tak mengerti. Arabisasi bahasa mengakibatkan pergeseran makna bahasa ibu di bumi pertiwi, Indonesia.

Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah bahasa Indonesia sudah tak relevan lagi dalam konteks kekinian?

Apakah penggunaan bahasa Arab lebih memberi kesan bahwa kita muslim paling taat dibanding yang lain?

Bukankah bahasa Indonesia adalah bahasa yang telah mendarah daging dalam konteks ke bangsa an?

Bukankah bahasa Indonesia ialah entitas budaya yang harus tetap dirawat karena merupakan jati diri bangsa?

Bukankah dengan menggunakan bahasa Indonesia kita lebih nyaman dalam beraktifitas dan bersosialisasi antar anak bangsa?

Rentetan pertanyaan diatas mungkin kurang penting, namun perlu untuk ditanggapi atau sekedar menjadi bahan renungan bersama.

Franz Boas pada abad ke-20 mengemukakan “Budaya satu bangsa sangatlah berbeda dengan budaya bangsa lain, jangan paksakan budaya satu bangsa harus sama dengan bangsa lainnya,” atau disebut sebagai keragaman budaya.

Keragaman budaya inilah yang seharusnya dijadikan landasan untuk tidak mengikuti bahasa yang digunakan oleh bangsa lain (apalagi sekedar alasan agar lebih terkesan modern), karena efek metastatis dari hal tersebut ialah hilangnya watak asli ke Indonesia an.

Pelan tapi pasti pergeseran dan pelupaan bahasa ibu nantinya akan kita rasakan. Bahasa Indonesia akan mengalami degradasi nilai bila tidak segera di atasi dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.

Belajar bahasa dari bangsa lain memanglah diperbolehkan demi meningkatkan intelektualitas, namun bila telah digunakan dalam kehidupan sehari-hari, lambat laut bahasa sendiri pun akan kita lupa.

Bahasa indonesia, selain bahasa pemersatu suku bangsa merupakan suatu karunia yang harus menjadi kebanggan bersama. Tatkala Babble Magazine (2019) mensurvei bahasa Indonesia telah menjadi bahasa nomor ke tujuh di dunia, setelah bahasa Mandarin, Inggris, Hindi, Spanyol, Arab, dan Rusia.

Ditandai dengan ada sekitar 174 unit pusat pendidikan yang tersebar di 45 negara menjadikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai materi pembelajaran. Pun ASEAN telah meresmikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Dengan jumlah pemakai bahasa yang cukup besar, kita bangsa Indonesia tak perlu minder menggunakan bahasa ibu. Bahasa indonesia.

Meski sifatnya tidak wajib—dilatari eksistensi bahasa daerah oleh beberapa suku bangsa di Indonesia—namun perlu dan penting untuk kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Hal ini diamini dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia juncto Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia.

Pada titik historis, bahasa indonesia merupakan bahasa perjuangan dan sikap nasionalisme. Dilatar belakangi oleh sumpah yang diikrarkan oleh anak bangsa pada tahun 1928 yang dikenal sebagai sumpah pemuda.

“Kami putra dan putri Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia.”

Kita pahami bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu, kelompok dan organisasi sosial dalam berbagai konteks kehidupan. Namun, bahasa bukan sekedar alat komunikasi saja, lebih daripada itu, bahasa Indonesia merupakan suatu keajaiban yang telah mempersatukan kita, sesuatu yang menunjukkan watak ke Indonesia an kita.

Terakhir sebagai penutup, salam satu bahasa, bahasa Indonesia.

 

Penulis: Aslang Jaya, pemuda Kepulauan Selajar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.