Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 25, 2020

Fantasi Simulacra Para Pecandu IPK

IPK, deretan angka angka sebagai simbol akumulasi pencapaian akademik dalam dunia kampus. Angka yang jadi penentu grade /tingkat, pencapaian, kelulusan, bahkan sudah menjadi simbol kualitas yang harus terpatri dalam diri seseorang yang sudah berlabel “Maha”siswa.

Sebab, deretan angka itu adalah standar prosedur administratif yang diperlukan sebagai tanda dan pengakuan bagi mereka yang ingin di cap sebagai insan akademis dan telah merasakan hirarki pendidikan tinggi, setidaknya, hal itulah yang mengonstruksi pikiran imajiner (Simulacra) para mahasiswa pecandunya.

Simulacra, sebuah teori yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard yang menganggap adanya konstruksi pikiran imajiner yang berbentuk simbol sebagai wakil realitas,namun terkadang tidak menghadirkan realitas itu sendiri.

Dalam dunia kampus, IPK adalah simbol intelektual dan kapasitas namun tidak selamanya mencerminkan intelektualitas dan kapasitas mahasiswa yang sebenarnya, fakta dilapangan tak selalu demikian. Tercatat, sampai pertengahan agustus 2019, Jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi mencapai 13 Juta orang, atau 5,67% dari total angkatan kerja, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik.

Gambaran yang mencoreng institusi kampus sebagai penghasil figur intelektual yang handal. Walhasil, kampus setiap tahunnya hanya berperan sebagai pencetak kertas kertas bertulis ijazah dengan deretan calon pengangguran yang tak jelas arah dan tujuannya.

Realitas yang amat getir dibalik fantasi semu para mahasiswa pecandu IPK yang bahkan rela mengorbankan segalanya demi deret angka. Namun lupa bingkisan bekal pengalaman, skill, dan keterampilan yang ia butuhkan nantinya di dunia nyata.

Justru mereka semakin “mabuk” dan “ber halusinasi” dalam jebakan simbol angka angka. Bahkan banyak diantara mereka yang rela merangkak, di depan dosen/ gurunya asalkan nilainya bagus.

Sebagian lagi rela mengorbankan harga diri, dan kejujuran dengan menyuapi kantong oknum menggunakan lembaran kertas merah berlogo“ Soekarno-Hatta”yang punya deret sekian nol, atas nama nilai dan angka angka , adapula yang akhirnya frustasi hanya karena bayangan “tidak lulus” yang terus menghantui

Iklim di dunia kampus pun tak pelak dari peran serta menciptakan realitas imajiner ini, perannya sebagai wadah tempat insan intelektual untuk “berfikir”. Kini telah berubah menjadi “loket pelayanan administrasi”.

Oknum dosen dan tenaga pendidik banyak yang tidak lagi menjalankan fungsi sebagai pendidik, namun hanya sebagai pelayan administrasi mahasiswa dengan serangakaian standar nilai sebagai syarat kelengkapan menjadi seorang intelektual.

Iklim yang membangun khazanah intelektual tak lagi jadi prioritas, yang terpenting mahasiswa menyelesaikan proses administrasi dan tahapan perkuliahan. Asalkan tunduk, dan patuh pada semua ketentuan administrasi, gelar intelektual pun berhak disandang.

Bahkan sebagian dosen dan oknum pendidik tadi tidak lagi memperhatikan kesesuaian antara simbol nilai yang diberikan dengan kapasitas mahasiswa sebagai insan intelektual di dunia nyata, Hasilnya, yang bermain hanyalah simbol intelektual, bukan intelektual yang sebenarnya.

Di sisi lain, dalam dunia kampus, ada label mahasiswa “protagonis” dan mahasiswa “antagonis”. Mereka yang protagonis adalah para mahasiswa “baik-baik”. rajin ke kampus, aktif, tidak gonrong, dan selalu mengikuti aturan tanpa pernah menyuarakan kritikan terhadap kebijakan.

Sedangkan mahasiswa antagonis, adalah mereka yang terkadang dinilai buruk, mereka adalah kelompok organisatoris, aktivis yang berani mengkritik kebijakan kampus, berpenampilan gonrong dan tidak terlalu mempersoalkan rajin atau tidaknya mereka. Begitulah kiranya iklim kampus menciptakan efek simulakra berupa konstruksi tentang mahasiswa baik dan buruk bagi sebagian orang.

Konstruksi pikiran yang demikian sedikit banyak telah berdampak bagi sebagian mahasiswa yang ingin di cap baik, Apalagi mereka yang masih terpengaruh dan menyalah artikan pesan dan amanah orang tua agar hanya fokus untuk kuliah saja.

Mereka yang menganggap dunia kampus sama saja dengan dunia sekolah menengah, dimana belajar hanya dimaknai belajar di kampus, datang dengan buku, mendengar penjelasan dosen, menyelesaikan tugas demi tugas hingga lulus dengan deret angka angka fantastis, namun lupa memperhatikan khazanah intelektual yang dimilikinya. Mereka yang larut dalam buaian fantasi angka angka, menjadikan mereka lupa dengan skill, keterampilan, dan pengalaman yang nantinya akan mereka pakai di dunia nyata.

Kesemua hal ini yang pada akhirnya membuat para mahasiswa pecandu angka semakin terbuai dalam dunia fantasi simbol simbol (simulakra) intelektual yang palsu. Mereka yang kecanduan inilah besar kemungkinan nantinya akan memperpanjang deretan pengangguran di negeri ini. Sebab bingkisan angka ini tidak mampu mereka pertanggung jawabkan sebagai bukti kapasitas intelektual. Jadilah kertas ijazah dengan deretan angka tak bernilai apa apa.

So, mahasiswa yang hari ini masih menjadi pecandu angka dan nilai IPK, harus berhenti dari imajinasi dan fantasi tersebut. Sadarlah bahwa simbol itu tak menjamin kesuskesan di dunia nyata. Pahamilah bahwa angka angka itu hanya bisa mengantar sampai di depan meja administrasi, tapi tak mampu menjamin kemampuan untuk melakukan survive di dunia nyata.

Hanya skill, keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman lah yang banyak dibutuhkan ketika almamater kebanggaan telah ditanggalkan. Dan saat itulah waktu pembuktian bahwa diri ini pernah menjadi seorang “Maha”siswa. Insan intelektual dengan segudang kapasitas dan kapabilitas.

 

Penulis: Muh. Yusuf Shaleh, mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.