Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 28, 2020

Gerhana Matahari: Dimensi Islam, Sains dan Budaya

“Gerhana Sebagai Bentuk Ke-Maha Kuasaan Allah SWT Kepada Orang-Orang yang Berfikir”

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Yunus 10:5).

Fenomena alam tentu menjadi sebuah objek yang menarik untuk kita amati dalam bereksplorasi di permukaan bumi ini, bagaimana tidak? Tuhan telah mendesain alam semesta ini dengan penuh keajaiban yang luar biasa. Salah satu ciptaan Allah SWT yang senantiasa tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT adalah Matahari dan Bulan, ia tak pernah terlambat walau sedetik pun dalam menjalankan tugas peribadatannya kepada Allah SWT.

Mungkin telah menjadi hal yang biasa bagi kita manusia dalam melihat matahari dan bulan, sebab setiap hari matahari memancarkan sinarnya dan setiap malam bulan memancarkan cahayanya, tanpa kita sadari bahwa fenomena tersebut merupakan satu tanda kebasaran Allah SWT.

Menariknya lagi, ketika matahari, bumi, dan bulan bertemu dalam satu garis lurus, ia menghasilkan fenomena langka luar biasa yang disebut dengan gerhana (eclipse), pada dasarnya gerhana terbagi atas dua jenis yakni: eclipse of the sun atau biasa disebut solar eclipse dalam bahasa arab kusuf asy-syams (Gerhana Matahari) dan eclipse of the moon atau biasa disebut dengan lunar eclipse dalam bahasa arab khusuf al-qamar (Gerhana Bulan).

Gerhana dalam Dimensi Sains

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa proses terjadinya gerhana tidak terlepas dari gejala alam yang terjadi pada tiga elemen dalam alam semesta kita, yakni matahari, bulan, dan bumi. Dalam sains gerhana terjadi karena posisi matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus. Gerhana matahari terjadi pada saat ijtima’ (konjungsi), yaitu ketika matahari, bulan dan bumi berada pada suatu garis lurus, Gerhana matahari terjadi pada fase bulan baru (new moon), namun tidak setiap bulan baru akan terjadi gerhana matahari.

Sedangkan gerhana bulan terjadi pada saat istiqbal (oposisi), yakni pada saat matahari, bumi dan bulan berada pada suatu garis lurus, sementara matahari berada pada jarak bujur astronomis 180? dari posisi bulan, gerhana bulan terjadi pada fase bulan purnama (full moon), namun perlu untuk diketahui bahwa tidak setiap bulan purnama akan terjadi gerhana bulan.

Hal ini disebabkan bidang orbit bulan mengitari bumi tidak sejajar dengan bidang orbit bumi mengitari matahari (bidang ekliptika), namun mengalami kemiringan yang membentuk sudut sebesar sekitar 5?. Jika bidang orbit bulan mengitari tersebut terletak tepat pada bidang ekliptika, maka setiap bulan baru akan selalu terjadi gerhana matahari, dan setiap bulan purnama akan selalu terjadi gerhana bulan. 

Secara sederhana, gerhana matahari terjadi ketika bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi, sehingga menyebabkan matahari tidak dapat menyinari bumi karena terhalang oleh bulan, gerhana matahari dapat dikategorikan menjadi gerhana matahari total ketika posisi bulan berada pada jarak terdekatnya dengan bumi sedangkan gerhana matahari cincin terjadi ketika posisi bulan berada pada jarak terjauhnya dengan bumi.

Gerhana Matahari dalam Dimensi Budaya

Sebagai manusia, fenomena alam seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan mitoligi, salah satu contohnya adalah peristiwa gerhana, peristiwa gerhana matahari dalam masyarakat tentu memiliki cerita tersendiri yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat tersebut, masyarakat Indonesia dalam menyikapi gerhana tentu sangat beragam hal tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai sosial, suku, budaya serta adat istiadat yang tumbuh dan berkembangan pada suatu daerah tertentu, salah satu mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia khususnya di masyarakat sulawesi selatan adalah:

Menabuh Alat Musik, sekelompok masyarakat pulau jawa meyakini bahwa gerhana matahari terjadi karena adanya sesosok raksasa besar (Buto) yang sedang berusaha menelan matahari, mereka beranggapan agar raksasa itu memuntahkan kembali matahari yang ditelannya, maka orang-orang diperintahkan untuk menabuh berbagai alat musik, seperti kentongan, bedug, bambu dan alat musik lainnya, berbeda dengan masyakarakat Bugis Bone, mereka melakukan sebuah tradisi Mappadekko (Memukul Lesung Padi), yang dimana tradisi ini dimainkan oleh para gadis perawan yang memiliki tujuan agar gerhana matahari dapat berlangsung dengan cepat dan tidak mendatangkan bencana.

Bersembunyi di dalam Rumah, sebuah mitos yang berkembang di masyarakat adalah bahwa ketika gerhana matahari terjadi maka kita haruslah berada di dalam rumah dan meninggalkan segala aktivitas di luar rumah, sebab gerhana matahari menyebabkan kebutaan pada mata, bahkan nyaris pada suatu daerah tertentu memiliki mitos bahwa jika terjadi gerhana kita harus bersmbunyi di bawah kolam kamar atau pun di bawah meja, hal tersebut dilakukan untuk menghindari gerhana matahari yang akan menyebabkan kebutaan.

Gerhana dan Ibu Hamil, sebagian masyarakat masih meyakini bahwa seorang perempuan atau ibu yang sedang hamil diharuskan bersembunyi di bawah tempat tidur atau meja saat terjadinya gerhana matahari, dengan tujuan agar bayi yang sedang dikandungnya lahir tidak dalam keadaan cacat (wajahnya hitam sebelah).

Tradisi Mekabbu Bedda Picah (Tradisi Membuat Bedak Kecantikan), masyakarakat Bugis Bone memiliki tradisi yang sangat khas dalam memontum gerhana matahari, dimana dalam tradisi ini, gadis perempuan Bugis Bone pada saat terjadinya gerhana matahari mereka membuat bedak yang terbuat dari beras, yang diambil dari rumah tetangga secara diam-diam dengan niat yang baik, kemudian beras tersebut dijadidikan bedak, yang menurut masyarakat bugis bone dibercaya dapat memberikan kecantikan pada wajah perempuan dan dapat menghindari mimpi buruk serta sebagai obat penenang tidur.

Obersevasi dengan Menggunakan Air di dalam Baskom, dalam dunia astronomi pengamatan dengan menggukan air di dalam baskom tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan pengaruh pada mata, namun berbeda dengan dengan masyarakat Bugis Bone yang menjadikan hal tersebut sebagai alat bantu untuk melihat gerhana dengan tidak kontak langsung dengan matahari.

Mereka menyaksikan gerhana matahari melalui air di dalam baskom kemudian air tersebut dijadikan sebagai air mandi untuk para putra dan putrinya dengan niat semoga kelak anak-anaknya dapat menjadi pribadi yang baik yang mampu bercahaya seperti matahari di tengah-tengah masyarakat.

Fenomena mitos tersebut tentu memiliki dampak positif dan dengan negatif, namun perlu untuk kita ketahui bersama bahwa tradisi dalam menyikapi gerhana matahari oleh setiap lapisan masyarakat menyimpan nilai-nilai tersendiri sebab memiliki maksud dan tujuan yang yang berorientasi pada hal-hal yang baik dan positif, hanya saja sebagian dari pelaksanaan tradisi tersebut sedikit menyimpan dari ketentuan agama.

Gerhana Matahari dalam Dimensi Hukum Islam

Dalam kajian historis, pada zaman Nabi Muhammad SAW, gerhana matahari pernah terjadi pada saat putra Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibrahim (ibunya bernama Maria al-Qibtiya) meninggal saat usianya masih belia, dan saat tersebut terjadi gerhana matahari, pada waktu itu sebagaian orang mengatakan bahwa gerhana terjadi kerena kematian putra Nabi Muhammad SAW, lalu pada saat ini Rasullullah bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat diantara ayat-ayat Allah. Gerhana matahari atau bulan ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhanat tersebut, maka berdoalah kepada Allah, ucapkanlah takbir, laksanakanlah shalat gerhana dan bersedakahlah.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut di atas maka sangat jelas, bahwa proses terjadinya gerhana baik gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah sebuah tanda kebesaran Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta ini, Rasulullah secara tegas menyampaikan bahwa, gerhana tidak berhubungan dengan kelahiran dan kematian seseorang, serta Rasulullah mengajurkan kita untuk memperbanyak mengingat Allah SWT pada saat gerhana terjadi, melalui hal-hal yang positif yang tidak menyimpan dari nilai-nilai agama.

Setidaknya ada empat ibadah yang diperintahkan Rasulullah SWA untuk dilaksanakan pada saat terjadinya gerhana, yakni: 1) Sholat Sunnah Gerhana, merupakan suatu perintah untuk memperbanyak bersujud dihadapan Allah SWT, 2) Berdoa, merupakan bentuk ketidaksempurnaan manusia dan pengakuan bahwa terbatasnya manusia untuk mengarungi kehidupan, sehingga dengan berdoa kepada Allah SWT manusia meminta perlindungan dan pertolongaan, 3) Bertakbir, merupakan perwujudan kecintaan hamba kepada Allah SWT dengan memuji dan mengakui ke-Maha Besaran dan ke-Maha Kuasaan-Nya, 4) Bersedekah, merupakan bentuk kepedulian kita terhadap sesama dan suatu bentuk pengakuan bahwa segalanya hanyalah milik Allah SWT dan sebaiknya dimanfaatkan dijalan kebaikan.

Gerhana Matahari, menjadi memontum untuk kembali merefleksi diri bahwa tiada satupun di alam semesta ini selain milik Allah SWT, selain itu gerhana mengingatkan kita akan ke-Maha Kuasaan Allah SWT dalam menciptakan penghidupan ini, seakan memberikan pelajaran bahwa manusia adalah makhluk yang penuh dengan keterbatasan. Sebagai umat muslim, peristiwa gerhana haruslah diyakini sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dan dari sisi kajian astronomi hal ini merupakan sebuah fenomena astronomi yang tidak terlepas dari kehendak Sang Maha Kuasa.

 

Penulis: Sadri Saputra. SMahasiswa Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.