Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Jan 05, 2021

HAM: Memberi Untuk Kemanusiaan

Pertemuan di warung kopi, untuk sekedar bercerita ataupun membahas hal-hal yang serius, biasanya telah menjadi rutinitas untuk sebagian mahasiswa/I,. Perjumpaan saya kala itu dengan beberapa teman kampus, sedikit diwarnai dengan obrolan-obrolan yang ringan tentang keluh-kesah dalam berorganisasi.

Teman saya mengeluh, katanya, organisasi yang dia geluti seperti kehilangan nyawa, katanya pengurus organisasinya tidak pernah mengadakan diskusi atau kegiatan lainnya, dia mengatakan, bahwa pernah sekali ia menyampaikan hal ini pada seorang pengurus namun pengurus tersebut pun mengeluh juga, dengan mengatakan bahwa ketua organisasinya tak pernah mau merangkul para pengurus termasuk saya, ujarnya seperti itu kata si pengurus.

Menurut hemat penulis hal inilah yang selama ini menjadi problematika bangsa Indonesia saat ini, dalam bidang hak asasi manusia, berbicara mengenai Ham bukan saja tentang bagaimana cara agar menjerat kemudian menghukum para pelaku pelanggaran HAM, tapi juga bagaimana agar tidak terjadi lagi pelanggaran Ham biasa maupun berat diwaktu yang akan datang.

Sudah sejak lama bangsa indonesia, memakai konsep HAM yang dicangkokin oleh bangsa barat yang pada dasarnya paham tersebut dilandasi dengan sikap individualistik, paham ini tidaklah cocok dengan budaya masyarakat indonesia yang komunalistik. Paham individualistik bangsa barat akan selalu mengutamakan diri sendiri, dan tidak terlalu memikirkan masyarakat lainnya.

Akibat dari hal tersebut orang tidak lagi saling membantu dalam hal kebaikan, kemiskinan dan kelaparan merajalela dimana-mana. Hasil ratifikasi yang memuat tentang sejumlah hak-hak itu tidaklah mengkahiri penderitaan yang dialami sebagian besar masyarakat indonesia.

Tumpukan pasal-pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat tentang sejumlah hak-hak tiap individu maupun kelompok, hanyalah menjadi alat untuk menghakimi yang lain. Jikalau ditinjau dari segi regulasi sudah cukup banyak yang menjamin,menghormati serta melindungi hak-hak individu. Tapi toh masih saja ada kemiskinan dan kelaparan.

Cerita diawal merupakan gambaran kecil dari cara kita dalam menjalankan kehidupan bernegara, terlalu banyak nuntuk hak sampai lupa pada kewajiban sebagai anggota, pengurus maupun ketua, meminjam istilah J.S Khairan “boleh menuntut tentang hak tapi jangan lupa dengan saudara kandungnya yang bernama kewajiban”. (buku kami bukan sarjana kertas).

Hak dan Kewajiban

Mengkonsepkan, membentuk kemudian menerapkan HAM haruslah disesuaikan dengan kondisi sosio-historis masing-masing bangsa. Karena walaupun hak asasi manusia merupakan satu hal yang bersifat universal, tapi masing-masing bangsa punya sejarah yang berbeda-beda dalam memperjuangkan HAM. Maka dari itu perlulah untuk mengkonsepkan HAM yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia

Berbicara mengenai HAM bukan hanya terbatas pada Hak Asasi melainkan juga termasuk Kewajiban Asasi, keduanya beriringan, Karena beriringan maka ada konsukwensi jika terjadi Pengabaian diantara salah satunya, konsekwensinya ialah terjadinya pelanggaran HAM.

Kedua hal tersebut mempunyai Hubungan Etis antara Hak asasi dengan Kewajiban asasi, karena ini menjadi pedoman dalam menuntun perilaku individu. Masyarakat atau bangsa agar tidak berat sebelah dalam menjalankan peran sebagai manusia serta warga negara, karena pada hakekatnya syarat agar menjalankan hidup dengan baik ialah dengan melakukan keduanya secara seimbang. Bahkan dalam konsepsi agama Islam, kewajiban asasi menjadi keutamaan moral untuk didahulukan dibandingkan dengan hak asasi itu sendiri.

Konsep HAM Indonesia

Sebagai bangsa yang besar dengan latar belakang historis serta budaya yang sangat bernilai, sudah seharusnya jadikan hal-hal tersebut sebagai pijakan untuk melangkah ke depan, prinsip “gotong royong” hasil perasan dari 5 sila menjadi 3 kemudian menjadi 1 yang di gaungkan oleh presiden pertama Indonesia yakni Soekarno. Dalam pidato sidang BPUPKI tersebut sangat mempunyai nilai sangat mendalam. Bangsa yang besar ini dan untuk tetap mempertahankan kebesaran ini ialah dengan saling membantu dalam hal apapun. Karena saling membantu sejatinya ialah berarti saling memberi.

Dalam undang-undang dasar 1945, bukan hanya memuat tentang hak-hak individu tapi juga memuat kewajiban. Seperti yang telah dijelaskan diatas kedua hal ini harus berjalan beriringan agar terciptanya harmonitas dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis, konsep hak dan kewajiban sama maknanya dengan menuntut dan memberi, hak sama dengan menuntut sedangkan kewajiban sama dengan memberi.

Dalam konteks agama Islam pun membahas tetang konsep memberi, dalam Islam memberi disebut dengan berbagai istilah. Ada zakat, infak, sedekah, amal saleh, dan lain-lain. Pemberian yang dianggap dalam kategori itu pun beragam, mulai dari harta sampai hal terkecil yakni senyuman. Selain dari sisi agama, pun bisa dilihat dari sisi budaya masyarakat Indonesia yang sangatlah kental

Konsep ini adalah konsep yang sejak lama melekat dengan budaya masyarakat Indonesia, yang sangatlah komunal bukan individual, maka tak heran jika konsep yang ditawarkan oleh bung karno ialah “Gotong royong”, ciri dari masyarakat komunal ialah saling membantu atau tolong menolong, konsep ini juga akan kita temui ditiap-tiap daerah dengan berbagai istilah yang berbeda-beda. Contoh, Maren (suku Kei), Song-osong lombhung (Madura), Ngacau gelamai (Bengukul), Grebuhan (Gunung Kidul), Liliuran (Sukabumi), dan masih banyak lainnya. prinsip ini pun seirama dengan pribahasan Indonesia yakni, “berat sama dipikul ringan sama dijijing”.

Selain Soekarno, ada juga salah satu tokoh yang ikut dalam siding bpupki yang juga ikut menyumbangkan gagasan tentang konsep Negara, dia adalah soepomo, konsep yang ditawarkan Soepomo ialah negara integralistik. Singkatnya uraian dia tentang konsep ini ialah negara kekeluargaan, dalam sistem kekeluargaan. Sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya “apa hak-hak saya?” Akan tetapi sikap yang menanyakan “apa kewajiban saya selaku anggota keluarga besar bangsa ini?”.

Nilai-nilai seperti inilah yang harus senantiasa kita sebagai penerus, menghidupkan kembali dan jadikan sebagai kebiasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Guna terwujudnya tata kehidupan manusia yang berlandaskan perikemanusian dan perikeadilan.

 

Penulis: Ramdani Renngur, mahasiswa yang aktif di Comunity of Criminal Law Study.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.