Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 22, 2020

Memaknai Lebaran Ala Mandela dan Gandhi

Ramadhan sebagai bulan penuh rahmat yang dipercayai oleh umat muslim tahun ini mengalami kondisi yang agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Betapa tidak, konstalasi kehidupan diriuhkan akibat pandemi covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia.

Meski demikian akhir Ramadhan kali ini tidak menutup kemungkinan spektrum yang sama “Perayaan hari raya Idul Fitri” yang ditandai dengan mudik karena terbukanya kembali moda transportasi akibat kebijakan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Idealnya, Ramadhan berakhir dengan air mata menitik. Tentulah, tiada bulan lain yang lebih sempurna. Konon setan dibelenggu dan tiap amal baik diganjar pahala berlipat kali. Kalau yang pantas diburu, maka inilah saatnya.

Kendati yang umum terjadi di negeri ini justru tidak demikian. Ramadhan pergi disambut suka cita. Mal semakin padat. Di rumah-rumah, mereka yang punya selera lebih tradisional tak pernah beranjak jauh dari mesin jahit atau pemanggangan.

Suara pedal mesin jahit yang diinjak, suara jarum yang menusuk-nusuk mengikatkan benang pada kain, meneror sepanjang hari. Pula bertoples kue sepertinya tak cukup-cukup. Semua sibuk mempersiapkan buncahan kegembiraan. Bersiap merayakan kemenangan. Saking sibuknya hingga masjid-masjid terlupakan. Saf makin lama makin berkurang.

Satu kata ditasbihkan “Lebaran ini saya harus pulang.” Lebaran ke kampung halaman digambarkan lewat mulusnya mobil baru. Maka orang-orang pun berlomba membeli mobil meski harus dikredit. Mereka yang tak punya modal cukuplah menyewa. Keluar berapa juta tak masalah asalkan bisa bemobil kira-kira satu minggu.

Meskipun demikian, bukankah umat muslim berhak merayakan kegembiraan juga? Bukankah makna lebaran itu kemenangan dan secara harfiah kemenangan wajar disambut penuh kebahagiaan? Tentu saja. Sama sekali tak keliru. Yang menjadi persoalannya adalah cara. Gembiranya orang muslim, bahagianya orang muslim, juga mesti gembira yang Islami.

Gembira yang Islami adalah gembira yang wajar. Gembira yang penuh syukur. Gembira yang tidak menafikan apalagi melecehkan.

Padahal hakekat lebaran adalah memaafkan dan silaturrahmi. Sampai sejauh mana, setelah ditempa Ramadhan sebulan penuh, orang-orang punya hati dan jiwa yang lebih besar untuk menerima dan memberi maaf. Ini yang terpenting. Baju baru, sepatu atau selop mengkilat, mobil baru, sepeda motor baru, aneka panganan, ledakan petasan pijar kembang api, apalagi sebangsa parsel untuk tujuan menjilat, tak lebih dari sekadar pelengkap. Lantas apakah maaf itu?

Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi

Afrika Selatan di tahun 1990 dan India setengah abad sebelumnya. Hari itu, 11 Februari 1990, media di seluruh sudut dunia mengarahkan mata mereka ke Cape Town. Seorang lelaki tinggi ringkih, berkulit legam, beruban, yang sebelah matanya sudah buta akibat siksaan. Hari itu dibebaskan dari penjara dan dunia hanya ingin mendengar satu hal darinya “Kalimat bernada marah dan menyeru pembalasan.”

Nelson Mandela, seorang Katolik yang taat, menjadi satu di antara mutiara paling cemerlang di abad 20. Tidak perlu perang, ternyata. Tidak perlu pembalasan yang menganaksungaikan darah. Maaf, walau tak diucap Mandela secara wantah, cukup kuat untuk menghapus politik apartheid dan putih hitam di Afrika Selatan mulai belajar untuk hidup dalam damai.

Maaf yang sama juga hadir lewat cara tak kalah mengharukan (dan karena itu jadinya mencengangkan) dari India. Kisahnya sama: pemasungan kebebasan tanpa peradilan. Tapi seperti Mandela, Mahatma Gandhi juga memberi maaf. Ia yang berpendidikan hukum dari barat nyatanya paham betul akan laku pengosongan dan penyucian diri.

Defenisi maaf yang sahih barangkali sulit dan rumit untuk dipapar. Tapi mungkin bisa didekatkan pada kalimat penyair Subagyo Sastrowardoyo “Melalui dosa kita dewasa”. Yakni semacam sikap. Konotasi dosa, besar dan kecil, adalah kesalahan. Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi? Dosa orang kepada kita dan sebaliknya. Seberapa dewasakah kita?

Puasa memberikan pelajaran-pelajaran tentang kedewasaan. Tepatnya, menjadi dewasa. Bagaimana selama satu bulan penuh (kadang 29 kadang 30 hari) jiwa ditempa sedemikian rupa hingga setapak demi setapak beranjak dari kekanak-kanakan yang tak bisa menahan diri ke jiwa dewasa yang lebih arif dalam memperlakukan segenap gejolak nafsu.

Mandela dan Mahatma Gandhi telah menjalankan puasa dengan cara mereka sendiri. Mereka memahami maaf dan berkelindan dengan kata itu. Bagi mereka, memang, maaf bukan lagi sekadar berhenti sebagai sepotong kata yang diucapkan untuk berbasa-basi.

Penulis: Tri Sakti Wangba Astamang, alumnus Politeknik Negeri Bali.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.