Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 28, 2020

Membaca Roem: Sekolah dan Sejarahnya

"mereka yang paham dan percaya bahwa sekolah hanyalah satu tempat singgah menghabiskan waktu luang yang tersisa, sekedar bersuka ria, selagi usia masih muda”

Halo sobat pembaca. Semoga tetap baik-baik saja dan mengisi waktu senggangnya dengan hal yang bermanfaat. Mari kita bicara sekolah. Sekolah adalah topik pembicaraan yang akan terus menarik untuk dibicarakan. Bicara sekolah maka akan berpikir tentang tempat yang memiliki gedung, ruang kelas, guru, mata pelajaran, murid, kurikulm, dsb. Namun, terlepas dari itu semua ternyata ada hal yang sering dilupakan dari sekolah itu sendiri.

Sekolah ternyata memiliki cerita serta sejarah yang harus diketahui sehingga dapat memahami arti sekolah yang sesungguhnya. Ada beberapa sumber yang dapat menerangkan mengenai asal usul sekolah.

Salah satu yang penulis anggap sebagai sumber yang kredibel adalah kumpulan tulisan dari roem topatimasang dalam buku “sekolah itu candu”. Bagian pertama dari buku itu memuat pengertian serta sejarah sekolah dari masa ke masa, dari sekolah materna hingga sekolah in loco parentis.

Baiklah, mari kita mulai pembahasannya. Sekolah di tilik dari dasar katanya maka berasal dari bahasa latin skhole, scola, scholae atau schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang. Kata itulah yang kemudian direduksi kedalam bahasa inggris dengan ejaan school atau sekolah. Schole atau waktu senggang tersebut pada zaman yunani kuno diisi dengan mengunjungi suatu tempat atau orang yang dinggap pandai untuk mempertanyakan hal-hal ikhwal yang mereka rasa patut untuk dipertanyakan dan diketahui.

Seiring dengan jalannya waktu maka kebiasaan tersebut bukan lagi hanya dilakukan oleh kaum laki-laki akan tetapi juga mulai di lakukan oleh putra-putri mereka, utamanya bagi laki-laki yang dianggap sebagai pelanjut keluarga. Lama kelamaan maka dengan berkembangnya tuntutan kehidupan maka orang tua merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengajari anak-anak mereka sehingga merasa perlu untuk menitipkannya pada orang yang dianggap pandai.

Di tempat itulah kemudian anak-anak berlatih, bermain dan melakukan apapun yang dianggap patut untuk dipelajari sampai tiba waktunya untuk kembali ke tengah-tengah keluarganya. Dari situlah terjadi pergeseran dari fungsi dari sekolah materna (pengasuhan ibu sampai batas waktu tertentu) menjadi scole in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang diluar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu).

Dari akar kata serta perjalanan persekolahan tersebut dapat dipahami bahwa sekolah pada waktu dahulu, merupakan pengisi waktu senggang serta tempat berlatih segala hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Lalu, kita akan bertanya siapa dan sejak kapan proses pengasuhan anak tersebut menjadi sebuah sistem pelembagaan memiliki pola dan dilakukan dengan metode khusus?. Jawabannya alah seorang Uskup Agung Moravia yang bernama Johannes Amos Comenius yang menuliskan kitab Didactia Magna dengan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak secara metodis dengan pertimbangan keragaman latar belakang dan perkembangan anak yang berbeda-beda dan memerlukan penanganan khusus.

Gagasan tersebut kemudian pada abad-18 dirincikan oleh Johann Heinrich Pestalozzi dengan mengatur pengelompokan anak secara berjenjang termasuk pula urutan mata pelajaran yang harus dilalui secara bertahap. Inilah yang kemudian disebut sebagai “sistem klasikal Pestalozzi”.

Sampai disini kan sudah mulai paham, darimana asal usul sekolah hingga sampai pada bagaimana sekolah itu menjadi sebuah lembaga dengan pola pelajaran tertentu. Namun perlu pula diketahui, bahwa orang yunani kuno bukanlah satu-satunya orang yang memulai tradisi sekolah, akan tetapi bangsa cina purba kabarnya telah memulainya dari 2000 tahun sebelum masehi, dan konon itulah lembaga tertua didunia yang diketahui sampai saat ini.

Di nusantara sendiri, nenek moyang pun memiliki tradisi yang dibawa oleh india dan dari jazirah arab. Demikian pula seluruh bangsa di dunia memiliki tradisinya atau pola pengasuhan dengan nama yang berbeda-beda.

Dengan begini maka mudah saja untuk memahami arti sesungguhnya dari sekolah yang pada awalnya hanya berarti pengisian waktu luang. Namun celakanya, sekolah yang saat ini menjelma menjadi system kelembagaan pendidikan malah dianggap sebagai hakikat dari pendidikan itu sendiri.

Maka, penting kiranya untuk memahami dari konteks sejarah darimana hal tersebut berasal sehingga kita dapat mengetahui akan diarahkan kemana untuk menyambut masa depan yang mungkin akan memiliki perbedaan.

Sebagai kesimpulan, sekolah sebagai sebuah wujud lembaga pendidikan harus dapat diarahkan dengan baik agar dapat menciptakan generasi pelanjut yang cemerlang. Yaitu dengan kembali ke konteks sejarah dan kembali menyusun program pembelajaran secara kontekstual sehingga pendidikan benar-benar dirasakan dari sekolah-sekolah macam sekarang ini.

Serta pergeseran makna sekolah sebagai hakikat pendidikan harus dihilangkan. Karena pendidikan tak hanya terbatas pada sekolah-sekolah formal. Mengutip Ki Hajar Dewantara maka pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia dengan menjadikan semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah.

“Terus Tumbuh Memberi Teduh”

 

Penulis: Ahmad Muzawir Saleh, Sekretaris Umum DEMA FTK UIN Alauddin Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.