Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 25, 2020

Menakar Implementasi Demokrasi di Tengah Pandemi

Sejak awal kemunculannya pada akhir tahun 2019 hingga saat ini virus corona (Covid-19) mulai mengganggu stabilitas penyelenggaraan negara hingga mandeknya berbagai aktivitas seluruh elemen masyarakat. Tak perlu menunggu waktu lama pemerintah mulai merespon dan membahas setiap langkah untuk secara tepat dan benar bisa memutus mata rantai penyebaran virus dengan cepat. Sektor regulasi tentu menjadi hal pokok yang disentuh pemerintah untuk tetap memegang teguh prinsip negara hukum (statsrecht).

Namun dalam perkembangannya yang tak luput dalam ingatan kita adalah pemerintah yang dalam hal ini lembaga legislatif dan eksekutif mulai disoroti oleh publik sejak pertama kali dikeluarkannya Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) No 1 tahun 2020 mulai dihadirkan di tengah masyrakat. Bagaimana tidak hal ini yang menurut beberapa pihak, timbul indikasi kuat bahwa pemerintah memberikan impunitas berlebih terhadap KSSK yang berpotensi menghianati cita-cita hukum (rechtside) bangsa Indonesia.

Secara teoritik bahwa dalam produk hukum harusla menjawab kebutuhan yakni; dapat dilaksanakan, dapat ditegakkan,sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur dan mampu menyerap aspirasi masyarakat, ke empat performative itu tentu suatu hal yang mesti tertuang agar mencerminkan bahwa pihak yang berwenang dalam membentuk peraturan perundang-undangan masih pada koridor perasaan hukum masyarakat.

Tak lama berselang public kembali dikejutkan dengan Tindakan Lembaga legislative yakni DPR dengan tetap bersikeras melakukan sidang paripurna untuk membahas dan menetapkan sejumlah RUU, yakni; RUU cipta lapangan kerja RUU mineral dan batu bara yang notabenenya telah beberapa kali mendapat kecaman dari elemen masyarakat baik pakar hukum hingga organisasi masyarakat yang fokus mengawal isu electoral yang dapat mengancam kedaulatan rakyat.

Peristiwa tumpang tindihnya regulasi yang kental akan egosentris elektoral baik kementerian hingga kepala daerah daerah yang tidak harmonis satu sama lain. Kian menambah rasa pelik di kepala masyarakat Indonesia juga pembebasan narapidana yang dinilai pemerintah sebagai salah satu langkah pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 malah menjadi masalah baru.

Hingga penerapan pembatasan social berskala besar yang jauh dari harapan masyarakat. Terbaru ialah peristiwa kriminalisasi terhadap narasumber Prof Ni’matul Huda S.H.,M.HUM dan comunitas akademik yakni CLS FH UGM yang mendapatkan aksi peneroran.

Rentetan peristiwa itu seolah mengajak kita akan mendapati bahwa telah terjadi degradasi prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan mekanisme partisipasi publik dalam membantu pemerintahan untuk membuktikan pengabdiannya terhadap bangsa, negara. Juga merupakan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang bunyinya “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” kurang diindahkan dan pada kenyataannya lagi-lagi rakyat yang menjadi tumbal dari egosentrisme pelaku kebijakan.

Analisis Implementasi Demokrasi D=di Tengah Pandemi Covid-19

Tahun 1998 merupakan harapan baru bagi negara kesatuan republik indonesia dalam menatap sistem ketatanegaraan yang akan kembali berpangkal pada cita negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia setelah lama dikebumikan oleh rezim orde baru di bawah pimpinan soeharto.

Itulah yang kemudian kita kenal dengan sebutan reformasi, hal ini tentu disambut dengan penuh antusias oleh seluruh kalangan masyarakat baik praktisi hukum, peneliti konstitusi, pegiat hak asasi manusia dan masyrakat pada umumnya, sebab hal itu juga diperkuat dengan adanya amandemen UUD 1945 yang pada substansi dalam batang tubuhnya kembali mempertegas pengakuan hak asasi manusia.

Kurang-lebih 2 dasawarsa sudah negara kesatuan republik Indonesia yang mendaku sebagai negara hukum yang demokratis berjalan dan kini memasuki babak baru. Tantangan yang benar-benar baru juga ujian yang akan menguras tenaga ekstra.

Sebab seperti yang kita ketahui bersama bahwa wabah yang kini menjadi bencana darurat nasional telah melumpuhkan urusan-urusan negara yang menjadi indikator kemajuan Indonesia dari urusan ekonomi, sosial, politik hingga budaya yang mau tidak mau harus dihadapi dengan cara yang tidak normal.

Ujian implementasi demokrasi pertama kali hadir pada saat terbitnya perppu no 1 tahun 2020 tentang “KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN” yang mengundang perhatian para akademisi, dan juga praktisi hukum yang menilai bahwa aturan tidak terlalu mendesak untuk dihadirkan padahal ada alternatif lain yakni uu no 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan meminta pemerintah untuk Kembali mengevaluasi perppu tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Diharapkan untuk mengkaji kembali dan melibatkan para pakar yang kompeten dalam bidang keilmuannya yang akan memberikan masukan serta tanggapan untuk meminimalisir segala kemungkinan buruk. Langkah ini juga tentu sebagai pemenuhan partisipasi publik dalam membantu pemerintah secara bergotong-royong, namun perppu no 1 tahun 2020 tetap disahkan dan hanya dalam masa 1 kali sidang.

Hingga saat ini perpu kontroversial tersebut masih tetap dilakukan mekanisme pengujian constitutional review di mahkamah konstitusi oleh para akademisi dan juga praktisi hukum yang merasa dirugikan.

Belum juga sembuh kekecewaan atas perpu yang kini menjadi Undang-Undang pada tanggal 11 mei 2020 public Kembali dihebohkan oleh tindakan DPR yang mengesahkan RUU mineral dan batu bara di tengah pandemi Covid-19 yang notabenenya telah mendapatkan banyak penolakan dan dikecam oleh khalayak ramai sebab akan membuka jalan para oligarki tambang.

Tidak ketinggalan Najwa Shihab menilai bahwa dpr tidak menjadikan perang melawan corona sebagai prioritas, hingga penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang jauh dari harapan. Dari rentetan peristiwa tersebut di atas kita dapat melihat bagaimana pemerintah menjawab pemenuhan demokrasi di tengah pandemi Covid-19 berkali-kali rakyat meminta untuk dievaluasi namun nyatanya tetap dilanjutkan.

Menurut paradigma penulis dibalik tergesah-gesahnya pengesahan RUU yakni pemerintah sadar betul dan memanfaatkan moment di tengah dibatasinya kerumunan sebab tidak akan ada aksi demonstrasi elemen masyarakat yang selalu diprakarsai oleh suatu entitas yang bernama mahasiswa. Metode tersebut tak dapat terbantahkan lagi bahwa tradisi itu hampir selalu berhasil dalam menghambat setiap tindakan pemerintah yang dinilai dapat mengancam kedaulatan rakyat.

Juga seperti yang kita ketahui bersama suksesnya suatu kebijakan terpulang lagi sudah sejauh mana objek (masyarakat) dari suatu kebijakan memahami kebijakan tersebut namun hal ini nampaknya tidak tercermin dalam penerapan PSBB ada relasi yang putus antara pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat penulis kurangnya tindakan komunikatif antara para pemangku kebijakan dan masyarakat merupakan faktor pokok yang mengakibatkan penerapan PSBB tidak berjalan mulus, sederhananya PSBB bukan jawaban atas masalah saat ini data pasien terjangkit virus kian melonjak dan kabar baik untuk terlepas dari virus kian menjauh.

Dampak dari Pengkerdillan Ruang Demokrasi

Alinea ke 4 memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta pasal 1 ayat (2) pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang pada pokoknya mendudukkan peranan penting warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun kesadaran berkonstitusi serta memberikan kesempatan yang sama kepada rakyat tanpa terkecuali untuk menjadi putra dan putri kebanggan bangsa dan negara dalam menahkodai nusantara.

Yang selanjutnya mewujudkan negara hukum yang demokratis, sejahtera serta menggelorakan konsensus final Pancasila secara internasional tentu hal ini harus didukung dengan sumber daya manusia yang sangat baik. Namun belakangan ini segelintir oknum yang memegang otoritas penting terhadap perangkat kenegaraan telah menciderai preambule hingga batang tubuh UUD 1945 yang merupakan tujuan bangsa Indonesia.

Hingga akan menghambat potensi putra-putri terbaik negara ini, dampaknyapun secara langsung menyasar pada pelanggaran ham yakni; kebebasan berpendapat atau prinsip demokrasi terciderai hingga terbungkamnya daya kritis akademisi yang akan menimbulakn efek domino pada keberlangsungan perguruan tinggi diseluruh indonesia.

Media massa mengabarkan bahwa telah terjadi aksi kimanalitas terhadap CLS FH UGM dan narasumber Prof. Dr. Nimatul Huda S.H., M.Hum yang akan mengadakan forum ilmiah. Dari pengakuan mereka sebagaimana yang dinyatakan oleh civitas akademik UII bahwa telah terjadi aksi peneroran terhadap sang guru besar hukum tata negara UII tersebut.

Pengekangan atas mimbar akademik ini sangat menghianati perkembangan ilmu pengetahuan pasalnya sudah menjadi ruh bagi perguruan tinggi dalam melaksanakan abdinya sebagaimana dharma perguruan tinggi telah berkali-kali melahirkan insan akademis hebat yang tak dapat dinafikkan lagi kontribusinya dalam mencerahkan kehidupan umat manusia pun demikian dengan forum ilmiah yang diadakan oleh CLS FH UGM sebagai generasi muda yang akan melanjutkan usaha para pendahulu dalam mencapai taraf kehidupan bangsa yang berdaya saing kuat bukannya mendukung dan memfasilitasi mereka segelintir oknum malah melakukan tindakan tak terpuji tersebut.

Kesimpulan

Dalam kondisi apapun prinsip demokrasi haruslah tetap ditegakkan sebagai upaya saling bergotong-royong dalam membangun bangsa yang besar ini. Sebab fakta sejarah membuktikan bukan persoalan muda dalam merebut kembali kedaulatan bangsa ini warisan yang tak ternilai harganya ini tak dapat diakuisisi oleh pihak manapun.

Dalam demokrasilah harapan dari tiap-tiap individu dipikul menjadi satu harapan bersama. Demokrasi pula kita melatih budi pekerti untuk tidak saling mengkerdilkan satu sama yang lain. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini ketenangan jiwa ialah prioritas utama agar tak terjadi lagi aksi penuduhan yang tidak mendasar hingga berpotensi merusak harmonisasi antara pemerintah dan juga masyarakat.

Saran

Sebagai representasi rakyat pemerintah harus jelih dan secara berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini dikarenakan pada pluralisme merupakan kenyataan yang akan dihadapi. Dengan melibatkan publik yang memahami nilai dan kondisi sosialnya hingga dapat membantu pemerintah dalam menyukseskan setiap kebijakan yang dalam konteks ini bersama-sama memerangi corona.

 

Penulis: Jaif Saputra, mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan aktif sebagai Kepala Devisi Pidana Formil CCLS.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.