Menanti Penerjemah Sastra yang Menyentuh
Ikhtiar Menerjemah; Belajar Pada Karya Sastra Dunia
Membaca karya sastra terjemahan acap kali membuat diri bersumringah ketika selesai membacanya sampai khatam. Pada titik kepuasaan itu, imajinasi belajar pada karya sastrawan dunia seolah mencapai kulminasi. Selama beberapa tahun belakangan para sastrawan kita dengan getol menerjemahkan karya-karya penting peraih Nobel Sastra Dunia untuk publikasi dan bahan bacaan.
Melebihi dari sekadar publikasi, sastra terjemahan juga menjadi rujukan penting yang bersedia dikaji ihwal kedalaman cita rasa sastrawinya untuk menambah kekayaan khazanah kesusastran kita yang beragam. Upaya tersebut tentu merupakan sebuah ikhtiar untuk belajar. Belajar bagaimana para sastrawan dunia melahirkan karya-karya hebat yang sanggup menghias jagat susastra.
Menerjemahkan karya-karya sastrawan peraih penghargaan Nobel Sastra tentu merupakan obsesi bagi sebagian sastrawan masyhur kita. Ketakjuban pada kerangka berpikir imajinatif ala barat pasca abad pencerahan menjadi semacam pertukaran ide untuk membidani lahirnya karya sastra. Pramoedya Ananta Toer sastrawan kita yang sempat digadang-gadang akan meraih Hadiah Nobel Sastra itu telah berhasil mengambil banyak manfaat dari kerja penerjemahan.
Ia telah menerbitkan terjemahan novel Maxim Gorky, Leo Tolstoy, John Steinbek, dan Mikhail Sholokov sebelum ia menerbitkan tetralogi Pulau Burunya yang paling fenomenal, Bumi Manusia. Salah satu serial novel yang oleh kritikus sastra dunia dianggap berhasil dalam sastra poskolonial. Selain Pram yang bermurah hati menerjemahkan, ada nama Chairil Anwar yang juga bergiat menerjemahkan sejumlah puisi, cerpen, dan novel.
Dari karya-karya sastrawan prominen dunia yang Chairil terjemahkan. Sebut saja Ernest Hemingway, John Steinbek, dan Andre Gide. Dari generasi mutakhir ada Sapardi Djoko Damono, Arif Bagus Prasetyo, Landung Simatupang, dan Eka Kurniawan. Kesemuanya merupakan penerjemah yang sadar betul menambal kekurangan karya mereka serta untuk meningkatkan mutu kesastraan Indonesia secara umum.
Proses penerjemahan tentu menjadi semacam upaya untuk menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya mengenal karya-karya hebat sastrawan dunia. Tanpa adanya laku penerjemahan semacam itu, corak bersastra kita hanya akan berkutat pada seputar persoalan yang itu-itu saja tanpa adanya inovasi dan inspirasi. Untuk itulah selain memikirkan bagaimana melahirkan suatu karya, persoalan menjadi penerjemah yang hebat juga tak kalah penting untuk dipikirkan.
Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran dan Sebuah Kehati-hatian
Pada 5 November 2003, Kompas menerbitkan tulisan Alfons Triyadi “Kritik Terjemahan di Indonesia”. Tulisan mencoba menyinggung beberapa problem di seputar dunia penerjemahan tanah air. Di antaranya, kualitas hasil karya terjemahan kita secara umum. Menurut Alfons di antara sejumlah karya terjemahan yang bisa dibilang baik, amat banyak karya terjemahan yang buruk. Para penerjemahlah yang paling bertanggung jawab atas hasil karya terjemahan mereka, kata Alfons.
Dalam sebuah seminar “Bincang Penerjemahan Buku” yang diadakan oleh salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri, 25 Oktober 2019, salah seorang peserta berceletuk ihwal kegelisahan yang dialaminya. Rasa gelisah itu ia sampaikan di forum. “Seringkali saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya yang tak seberapa hanya untuk membeli buku-buku terjemahan dari beberapa penerbit terkenal di Indonesia, sialnya setelah selesai membaca, saya tidak berhasil menangkap pesan apa yang hendak disampaikan dalam novel terjemahan tersebut”. Begitulah kira-kira isi kegelisahan yang diungkap yang seolah merepresentasikan pernyataan Alfons.
Kualitas terjemahan yang baik tentu akan memengaruhi pembaca dalam berimajinasi. Pembaca seakrab mungkin memahami keseluruhan konteks cerita tanpa mengulangi kalimat-kalimat sebelumnya. Kualitas terjemahan dianggap kaku apabila sama sekali tidak menyentuh instuisi pembaca. Hal ini seperti yang disampaikan Sapardi Djoko Damono “Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya (yang disebut ‘terjemahan’) yang berhasil menyentuh kita”.
Dengan kata lain, penerjemahan yang tidak dilakukan secara apa adanya yang masih berkubang pada bahasa sumber itulah yang berhasil ‘menyentuh’, seperti kata Sapardi. Kesetiaan pada bahasa sumber tempat di mana karya tersebut dilahirkan di suatu belahan dunia tertentu dengan bahasa sasaran (bahasa sehari-hari kita) merupakan tanjakan tersendiri bagi seorang penerjemah.
Ia akan selalu berusaha meniti tebing curam di antara terjalnya bahasa asing dengan bahasa keseharian kita. Berusaha untuk mengalihkan secara sempurna dari ‘Bahasa Sumber’ ke ‘Bahasa Sasaran’ merupakan kerja yang tidak mudah. Memerlukan keseriusan dalam penguasaan tiga bahasa. Bahasa asing, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Juga budaya yang melatar belakangi bahasa tersebut.
Selama ini kita sering bersua dengan penerjemah yang menghabiskan waktunya di luar negeri hanya untuk mencari teks karya pesohor dalam dunia sastra yang masih khas dengan bahasa sumber itu. Di sana mereka tidak sekadar mencari teks, tapi juga dituntut untuk memahami. Memahami setiap narasi historis sosio-kultural di mana suatu karya lahir agar nantinya hasil terjemahan tersebut benar-benar bisa menggambarkan kehidupan dari teks yang sebenarnya secara komprehensif.
Jika tidak demikian, tantangan yang telah menjadi persoalan klasik penerjemah akan selalu menanti. Mereka dinanti oleh sebuah problem antara kabur dari teks asli yang menjadi bahasa sumber demi sebuah estetika, atau tetap mempertahankan esensi kesahihan teks tanpa sedikitpun mengubah kedalaman maknanya. Maka bagi penerjemah, bersetia pada bahasa sumber sambil menimba kandungan estetika di dalamnya menjadi semacam arena peleburan tersendiri melawan adagium “Translator is a traitor”.
Adagium terkenal itu seolah menghantui laku seorang penerjemah. Penerjemah akan menkonfirmasi adagium tersebut jika ia mengalihkan esensi bahasa sumber ke dalam bentuk penghianatan yang indah. Keindahan memang selalu diburu mati-matian agar berjejak meninggalkan rasa puas bagi pembaca. Apalagi dalam karya sastra di mana estetika diagungkan. Di sisi lain ia akan berubah laksana dosa sosial yang membuat penerjemah menjadi candu.
Kecanduan meneguk cita rasa sastrawi kerap menggoda laku penerjemahan. Kehati-hatian menjadi semacam kontrol dalam mengendalikan hasrat mengejar cita rasa itu agar tidak terlempar pada bujuk rayu untuk berhianat pada pembaca. Sebab jika itu terjadi, ia telah menghilangkan esensi absolut dari pesan yang termaktub dalam sebuah karya.
Tersebab melihat hal yang demikian, laku mengalihkan bahasa sumber ke bahasa sasaran agar benar-benar menghasilkan terjemahan yang menyentuh mengharuskan keahlian khusus yang harus tersublim dalam diri seorang penerjemah. Selain menghadirkan nuansa teks ke dalam bahasa sasaran yang tepat, para penerjemah dituntut untuk memahami gramatika atau susunan kalimat dengan baik. Hasil terjemahan akan lebih variatif dan berbunyi jika penerjemah mahir dalam menguasai struktur kalimat.
Selain itu, dalam tahap memahami teks sumber dan mengungkapkan kembali ke bahasa sasaran ada dua hal penting yang menjadi prasyarat khusus sebelum menerjemahkan. Pertama, memerlukan pengetahuan linguistik dan ekstra linguistik yang memadai. Kedua, memerlukan pengetahuan bahasa sasaran, terutama dalam menulis. Pada tahap kedua, seorang penerjemah sebisa mungkin mengasah kekuatan menulisnya secara terus-menerus.
Hal serupa diungkapkan Hendarto Setiadi dalam Penerjemahan (2015). Menurutnya, para penerjemah di samping memahami keseluruhan isi teks, ia juga dituntut untuk memiliki keterampilan menulis yang mumpuni. Adanya minat pada pemuliaan adab literasi menjadi modal yang amat signifikan dalam proses penerjemahan. Menulis bukan sekadar perkara mencipta, tapi ia juga berhasil menautkan kalimat satu ke kalimat lainnya secara utuh dan bernyawa.
Akhirnya, kita semua berharap akan adanya publikasi terjemahan karya sastra di Indonesia secara massif. Kita memerlukan penerjemah yang benar-benar memiliki daya kreatif untuk menghasilkan terjemahan yang ‘menyentuh’ pembaca. Laku menerjemahkan bukan perkara mudah. Ada seni yang tidak semua orang memilikinya. Ia terus belajar bergerak melalui tiga tahapan, kata Robinson (2005: 163-164), yaitu, naluri, pengalaman, dan kebiasaan.
Penulis: Muhammad Ghufron, member di Huma Aksara SMART ILC, Kampung Inggris, Pare, Kediri.