Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 23, 2020

Menghidupkan Kembali Republik

Beberapa minggu terakhir ruang publik terasa begitu mencekam, seperti tak ada kenyamanan untuk sekadar berdiskusi dan membaca buku serta catatan-catatan usang.

Baik televisi maupun beranda media sosial, akhir-akhir ini dipenuhi berita tak mengenakkan dan tidak menyehatkan. Kebebasan publik untuk memperoleh pengetahuan diberangus, seolah hidup dengan kepintaran adalah dosa bagi republik. Kita bisa mulai dari razia buku yang terjadi beberapa minggu lalu, kemudian kritik Ravio Patra yang berujung peretasan dan penangkapan, hingga baru-baru ini teror dan ancaman pembunuhan ditujukan pada narasumber dan panitia diskusi “Pemberhentian Presiden” yang diadakan oleh CLS FH UGM.

 Atau kita bisa katakan, bahwa republik seperti mati terbawa arus politik yang menghendaki langgengnya kekuasaan.

Cindy Adam dalam bukunya berjudul “Bung Karno penyambung Lidah Rakyat Indonesia” menabalkan sebuah pembelajaran penting tentang bagaimana seharusnya republik ini dirintis, digerakkan dan dihidupkan. Dalam risalah itu Cindy Adam bercerita tentang dialektika dan dinamika pemikiran Bung Karno.

Di sanalah kita menjumpai bagaimana Soekarno muda sewaktu bersekolah di HBS Surabaya, juga bagaimana pergolakan pemikiran Bung Karno sewaktu indekos di rumah Guru Bangsa, HOS Tjokroaminto bersama Musso, Kartosuwiryo, dan Alimin?yang kemudian kelak kita tahu mereka adalah lawan politik dengan ideologi yang bersebarangan?.

Hari-hari Soekarno dipenuhi perdebatan tentang kondisi sosial politik saat itu. Muso, Kartosuwiryo, hingga Alimin adalah lawan diskusi sekaligus senior bagi Soekarno. Di rumah itulah soekarno ditempa, diajak berdiskusi tentang keadaan politik dan nasib bangsanya. Rumah itu bak ¬Kawah Candradimuka yang melahirkan kesatria-kesatria tangguh yang kelak akan menjadi pendiri republik. Rumah yang sekarang kita labeli dengan rumah ideologi dan dialog.

Menjelang kemerdekaan, perdebatan mengenai kemana arah bangsa ini akan dibawa terus dilakukan dalam berbagai forum. Pada penghujung bulan Mei 1945, sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei- 1 Juni membahas bentuk negara Indonesia serta merumuskan dasar negara. Tercatat, ada 3 tokoh pergerakan nasional yang menyampaikan pidato dan gagasannya guna merumuskan dasar negara.

Ketiga orang itu adalah Prof. Mohammad Yamin, S.H., Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Ketiga orang ini saling bertarung gagasan guna menghasilkan dasar negara yang benar-benar tepat, yang pada akhirnya kita tahu bahwa gagasan Pancasila Soekarno yang kita kenal sebagai dasar negara kita hari ini.

Pascakemerdekaan, saat republik telah berdiri, gelombang perdebatan tak pernah benar-benar selesai. Periode 1950-an menjadi panggung bagi para anggota Badan Konstituante untuk saling mengeluarkan gagasan tentang konstitusi negara yang lebih lengkap serta mampu menyempurnakan konstitusi yang ada sebelumnya. Konstituante menjadi ruang debat dan panggung politik untuk memperjuangkan kepentingan partai setelah pemilu 1955.

Dalam sidang konstituante inilah, Mohammad Natsir sebagai ketua Partai Masyumi dan Dipa Nusantara Aidit yang merupakan Ketua Central Commite Partai Komunis Indonesia berdebat tentang ideologi yang mereka yakini hingga keduanya hampir saling lempar kursi. Lalu setelah sidang diskors, keduanya duduk dan minum kopi berdua.

Pada periode yang sama, perdebatan tentang republik juga terjadi dalam tubuh dwitunggal, Soekarno dan Hatta. Pada masa itu Soekarno menghendaki adanya peleburan partai politik, serta perubahan terhadap sistem parlementer. Alasannya, sistem parlementer membuat negara dalam keadaan tak stabil dan selalu berujung kebuntuan dalam pengambilan keputusan.

Kebijakan ini menandai dimulainya sistem demokrasi terpimpin setelah sebelumnya Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup melalui TAP MPRS.

Gelombang penolakan atas kebijakan Soekarno terus dilakukan secara terang-terangan oleh Moh. Hatta. Sebagai seorang demokrat, ia menganggap kebijakan Soekarno merupakan pintu menuju kediktatoran. Hatta menginginkan agar demokrasi dibuka seluas-selausnya bagi partai politik. Puncaknya, tahun 1956 menjadi tahun terakhir Moh. Hatta memangku jabatan sebagai seorang Wakil Presiden.

Demikianlah sejarah republik ini tercatat, catatan yang di dalamnya penuh perdebatan, serta sejarah yang diisi dengan pertarungan ide dan gagasan. Perdebatan telah menjadi bagian dari proses panjang pencarian jati diri republik, agar republik tetap waras dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Pada dasarnya, diskursus dan perdebatan yang terjadi hari-hari ini merupakan bagian dari sejarah republik itu sendiri, sejarah yang kelak akan jadi pengalaman dan pembelajaran dalam menentukan arah republik kedepannya.

Hari ini, kita menyaksikan bagaimana perdebatan dan forum-forum diskusi terus dicekal dan dibubarkan. Kebebasan publik yang telah diatur dalam konstitusi tak lagi dihargai dan dihormati. Padahal, republik ini, menurut UUD 1945 merupakan negara yang berkewajiban melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi setiap manusia di dalamnya.

Sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia, diskusi dan debat adalah bentuk partisipasi rakyat pada level akar rumput untuk tetap menghidupkan republik, harusnya dilindungi dan dihormati. Jangan sampai, republik ini tumbuh dengan catatan pembangkangan terhadap konstitusi sendiri.

 

Penulis: Adnan, mahasiswa PPKn UNM angkatan 2018. Sedang berusaha menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.