Mesjid dan Pasar: Spiritualitas di Ruang Publik
Hingga saat ini, di kampung, sudut jalan, lorong, tempat nongkrong, sampai di media sosial, ruang publik seperti pasar ramai dibincangkan, terdengar banyak warga saling berkomentar beradu tanya dan jawab "mengapa mesjidnya ditutup pasar dibuka?".
Memang sejak corona mewabah kurang lebih dua bulan lalu, pro kontra penutupan mesjid berimbas pada pasar dan ruang publik yang lain. Sekalipun pembatasan pasar akhirnya dilakukan di beberapa tempat, akan tetapi pembatasan itu terlihat tidak sepenuh hati karena adanya polemik yg ditimbulkan.
Rasa empati disaat menyaksikan orang tak bisa mencari nafkah menjadi alasan sebagian orang menuntut agar pasar dinormalkan fungsinya kembali.
Yang menarik dari penutupan ini adalah cara orang melakukan perbandingan antara pasar (ruang publik) dengan rumah ibadah, pasar ditengarai sebagai tempat syaitan, tempatnya iblis sementara mesjid tempat suci yang pasti terbebas dari virus corona. Pasarlah yang semestinya lebih awal ditutup dan dijauhi sementara mesjid harus dimakmurkan.
Benarkah demikian?
Pertama, kalau hanya karena pasar dipahami sebagai tempatnya syaitan yang berbeda dengan mesjid lalu harus dijauhi, ini jelas keliru, harus dipahami bahwa nabi saw adalah seorang pedagang yang sebagian aktivitasnya juga di pasar.
Satu tempat pada hakikatnya sama, semuanya adalah hamparan sajadah yg di dalamnya orang bisa meraup pahala tergantung bagaimana orang berprilaku, melakukan dan meniatkan aktivitasnya. Satu tempat akan menjadi kotor bukan krn tempatnya akan tetapi karena perilaku manusia di dalamnya.
Pasar bisa menjadi tempat orang melakukan pembangkangan terhadap Tuhan bisa pula menjadi ladang pahala, seperti mesjid bisa menjadi tempat mendulang pahala bisa pula menjadi tempat pembangkangan terhadap perintah Tuhan.
Kita bisa saksikan di timur tengah berbagai tindakan pembunuhan dengan cara bom bunuh diri justru dilakukan di mesjid pada saat mereka mendirikan shalat atau disaat sedang berlangsung pengajian, kita juga bisa saksikan dalam sejarah, sayyidina Ali kw juga terbunuh oleh ahli ibadah, tahfids qur'an dan dilakujan di dalam mesjid.
Kontraks dengan itu, Nabi sSAW dahulu disaat membangun mesjid, beliau SAW menjadikannya sebagai pusat aktivitas umat Islam yang multi guna. Berbagai kegiatan maupun problematika umat terselesaikan di masjid, bukan hanya menyangkut soal keagamaan, problem politik kemasyarakatan, sosial budaya pun juga dibahas dan dipecahkan di masjid.
Seringkali Nabi saw menjadikan mesjid sebagai tempat untuk merawat yang sakit atau menjadi asrama bagi pendatang yang tak memiliki tempat berlindung. Semua fungsi itu diperankan oleh mesjid sebelum gedung gedung seperti puskesmas, perkantoran dibangun untuk menggantikan fungsinya.
Berangkat dari kacamata itu, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya Nabi SAW sedang meneladangkan satu sikap beragama pada ummatnya dengan memberikan penekanan bahwa sesungguhnya kesalehan ritual dan kesalehan sosial adalah satu tarikan nafas yang tak boleh terpisahakan,
Mesjid seharusnya dijadikan sarana melakukan ibadah ritual untuk menyerap nilai-nilai ilahiyah lalu kita ejewantahkan dalam ruang sosial. Ketika mesjid kita jadikan sarana ibadah ritual maka pasar atau tempat umum lainnya menjadi ruang aplikasi dari apa yg kita serap dalam ibadah ritual.
Apakah implikasi atau buah dari ibadah ritual kita? Al-qur'an memberi jawaban "sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" QS.Al-ankabut, ayat 45.
Akhlak yang baik, jujur, adil, amanah, tak curang dalam berdagang dan lain sebagainya harus menjadi buah dari ritual shalat yang kita dirikan. Perilaku sosial yang baik harus menjadi pembuktian dari rasa keimanan yang kita miliki, seperti kata Muhammad Husen Fadhullah "Jgn cari keimanan seseorang di masjid, tp carilah di pasar, dia menunaikan amanah atau tidak." artinya ketika orang khusyu' melakukan ibadah di mesjid maka seharusnya dia juga khusyu' menjaga amanah, jujur atau adil dalam segala aktivitasnya di ruang publik.
Oleh sebab itu, tidaklah tepat kemudian jika kita terus membandingkan pasar dengan mesjid apalagi pada porsi yang berbeda. Kita membangun anggapan yang keliru seolah ibadah itu hanya di mesjid. Semua yang terkait dgn selain mesjid bukanlah ibadah, padahal antara mesjid dan ruang-ruang publik yang lain sama-sama bisa menjadi sarana pengabdian kepada Tuhan secara substansial.
Bukankah mereka yang memenuhi mesjid saat waktu shalat tiba adalah mereka juga yang memenuhi pasar di waktu waktu tertentu?
Kesalahan memahami hakikat ibadah, dengan menganggap bahwa ibadah hanya terkait dengan ritual sujud melahirkan manusia yang khusyu dalam shalatnya tpi khusyu juga bermaksiat dalam ruang publik dan interaksi sosialnya.
Karena itu, sujud atau ibadah bukan hanya terkait dengan masjid saja, melainkan menyembah Allah dalam bentuk yang lain, bisa dalam bentuk menjaga amanah, jujur, adil. Memberikan pengayoman terhadap anak-anak yatim, pemenuhan kebutuhan, peringanan beban hidup bagi mereka yg terhimpit kesusahan, pemberian bantuan kepada mereka yang memerlukan uluran tangan serta perbaikan urusan masyarakat dan persoalan publik.
Bertaqwa tidak cukup dengan ibadah ritual dia harus disertai dengan kesalehan sosial yang menjadi bentuk nyata dari kesalehan ritual.
Bagaimana mungkin kita khusyu' beribadah sementara tetangga kita kelaparan, bagaimana mungkin kita rajin mengunjungi mesjid tapi kita juga tak memegang amanah saat meduduki jabatan publik. Bagaimana mungkin kita sujud untuk merendah dihadapan Tuhan sambil asyik merendahkan manusia yang lain, bagaimana mungkin bisa disebut iman yang baik sementara kita tak jujur saat di pasar.
Sekali lagi kesalehan ritual dan kesalehan sosial adalah satu tarikan nafas, karena itu temukan keimanan kita di ruang ruang publik. Menjaga amanah bukan di mesjid dengan ibadah ritual yang khusyu tetapi abai terhadap derita orang lain.
Penulis: Dede Yusuf Rauf, mahasiswa Universitas Negeri Makassar.