Mimbar Akademik dan Wajah Demokrasi Hari Ini
Pada tanggal 29 Mei 2020 dunia perguruan tinggi dihebohkan dengan adanya tindakan justifikasi secara brutal oleh oknum tertentu, yang kemudian berlanjut dengan ancaman pembunuhan terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UGM, serta diikuti dengan intimidasi terhadap pembicara dalam diskusi publik yang akan diadakan oleh Constitutional Law Society pada tanggal 29 Mei lau.
Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum hati saya tergerak untuk menulis dan membahas terkait peristiwa ini. Sebelum masuk pada inti tulisan, izinkan saya menyampaikan sebuah slogan ‘’hidup mahasiswa, mahasiswa melawan, mahasiswa bersuara’’. Langsung saja!!!
Setelah runtuh nya rezim pemerintah otoriter yang dipimpin oleh Suharto pada tahun 1998, peristiwa itu menandakan dimulai nya era baru yang saat ini kita kenal dengan sebutan era reformasi. Reformasi yang gegap gempita memberikan secercah harapan akan tercapainya praktek ketatanegaraan yang benar-benar demokratis.
Nawa cita itu menemui titik terang ditandai dengan dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945 yang antara lain memperteguh jaminan Hak Asasi Manusia, diantara jaminan tersebut adalah bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (vide Pasal 28E ayat (3) UUD 1945).
Namun dewasa ini sistem demokrasi sebagaimana yang di cita-citakan masih menjumpai banyak hambatan. Bahkan tidak jarang dijumpai orang-orang yang tega mengkhianati nilai-nila demokrasi.
Contoh nya saja peristiwa aktual terkait adanya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara kegiatan diskusi publik yang akan diadakan oleh kelompok study mahasiswa Fakultas Hukum UGM ‘’ Constitutional Law Society’’ yang bertemakan ‘’meluruskan persoalan pemberhentian presiden ditinjau dari sistem ketatanegaraan’’.
Pelaku teror tersebut menganggap bahwa kegiatan diskusi publik yang akan diadakan mahasiswa FH UGM merupakan bentuk kegiatan makar, dan parahnya lagi oknum tersebut hanya menjustifikasi tanpa dasar yang jelas.
Ketika kita memperhatikan secara saksama. Nampak jelas tuduhan yang dilontarkan dari oknum tersebut sama sekali tidak memiliki dasar, dan bias.
Hal ini senada dengan pernyataan pakar hukum tata negara Dr, Zainal Arifin Mochtar pada saat wawancara dalam Chanel YouTube Refly Harun yang di publish pada minggu 31 Mei 2020.
Zainal Arifin Mochtar menjelaskan sesungguhnya isi dari Term Of Reference kegiatan diskusi publik tersebut, menekankan bahwa kegiatan diskusi ilmiah ini dilatarbelakangi dari kegundahan para mahasiswa yang tergabung dalam kelompok belajar CLS, kegundahan itu dipicu karena beredarnya isu presiden akan di impeachment di tengah pandemi karena penanganan COVID-19 yang dirasa enggak serius.
Lebih lanjut Zainal Arifin Mochtar menekankan kembali, bahwa sebenarnya tidak ada maksud dari para mahasiswa ini melakukan makar. Bahkan mereka bermaksud membela presiden, mereka ingin mengatakan kepada publik bahwa sahnya presiden tidak bisa diberhentikan karena kebijakan. Kalaupun salah dalam penanganan kebijakan, tentu tetap tidak bisa menjadi alasan untuk memecat presiden, karena untuk memecat presiden terlebih dahulu harus melalui mekanisme tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7-A dan 7-B UUD 1945.
Konklusi nya, bahwa kegiatan diskusi publik yang gagal diadakan oleh kelompok belajar Constitutional Law Study FH UGM pada tanggal 29 Mei lalu sama sekali tidak mengandung unsur makar, dan murni diskusi ilmiah semata. Terlebih tema yang diangkat dalam diskusi tersebut sudah selaras dengan disiplin ilmu Hukum Tata Negara, yaitu tema yang berkaitan dengan UUD 1945.
Parameter Tindakan Makar
Istilah makar atau aanslag tot en feit kita temukan dalam KUHP Indonesia, dan selalu dikaitkan dengan ketentuan pidana yang ditujukan untuk melindungi keselamatan negara (Chazawy,2002: 3).
Secara garis besar makar didefinisikan sebagai bentuk penyerangan atau perlawanan terhadap pemerintah yang sah, dengan maksud untuk menjatuhkan pemerintahan baik melalui kekuatan senjata maupun dengan kekuatan lain.
Makar yang dikenal luas adalah makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi menjadi tiga bagian. Antara lain: pertama, makar terhadap keselamatan presiden dan wakil presiden. Kedua, terhadap wilayah negara. Ketiga, makar terhadap pemerintahan. Ketiga jenis perbuatan ini di atur dalam Bab I buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, yaitu Pasal 104, 106, dan 107.
Hemat penulis atas wacana kegiatan diskusi ilmiah dengan tema ‘’meluruskan persoalan pemberhentian presiden ditinjau dari sistem ketatanegaraan’’. Melihat tema wacana diskusi ini, tidak dijumpai satupun hal yang mengarah pada tindakan makar, dan unsur-unsur makar yang diatur dalam Pasal KUHP tidak terpenuhi.
Ini menunjukkan bahwa pelaku teror tidak mengetahui secara jelas kualifikasi dari tindakan makar, dan terparah nya lagi oknum tersebut telah menodai sistem demokrasi yang selama ini telah kita perjuangkan.
Terkuak nya fenomena teror ini merupakan bukti bahwa di dalam Negara Indonesia era dewasa ini masih ada oknum yang berusaha membungkam kebebasan mimbar akademik, oknum inilah wujud nyata parasit negara yang menggerogoti nilai-nilai demokrasi dan mengkhianati nawa cita reformasi. Penulis menyebut orang-orang itu sebagai racun demokrasi (poison of democracy).
Kebebasan Mimbar Akademik Merupakan Pilar Demokrasi
Dalam budaya akademik/academic culture memperteguh kebebasan mimbar akademik sangatlah perlu, hal itu bertujuan agar mahasiswa mendapatkan kemerdekaan belajar (freedom of study) supaya kompetensi mahasiswa bisa semakin tajam dalam bidang keilmuan nya.
Kebebasan mimbar akademik merupakan sesuatu yang sangat fundamental di dalam masyarakat perguruan tinggi. Mimbar akademik inilah salah satu sarana pendukung dalam rangka memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif (Mahfud, 2016).
Mimbar akademik memiliki peran esensial disamping salah satu pilar demokrasi, juga memiliki peran dalam hal menciptakan academic culture yang akan mengantarkan bangsa indonesia menjadi bangsa yang terdidik, kuat, dan sejahtera. Sehingga sudah semestinya pemerintah dalam hal ini memberikan perhatian khusus untuk menjamin dan mengawal agar kebebasan mimbar akademik dapat dicapai.
Meminjam semboyan paten seseorang budayawan, sekaligus negarawan indonesia, Sujiwo Tejo “aku mungkin tak setuju dengan pendapatmu, tapi aku akan mati-matian berjuang agar kau bisa menyuarakan pendapat itu”. Celakanya sampai sekarang semboyan ini belum terimplementasi pada tataran masyarakat Indonesia.
Hemat penulis intimidasi disertai ancaman pembunuhan yang di lakukan oleh oknum tersebut merupakan gejala awal runtuhnya pilar-pilar demokrasi, yang di kemudian hari dapat berimplikasi pada penurunan produktifitas insan akademik dalam melakukan diskusi-diskusi publik yang bersifat mencerahkan dan mencerdaskan.
Kesimpulan
Penulis melihat ada tiga (3) hal yang melatarbelakangi terjadinya tindakan teror ini, antara lain:
Pertama, kemungkinan aksi teror ini terjadi disebabkan dari adanya oknum pendukung pemerintah yang tidak senang terhadap tema diskusi publik itu karena mereka merasa posisi singgasana kekuasaan nya terancam, maka oknum tersebut bereaksi keras dengan cara menebar teror.
Kedua, bisa juga peristiwa teror ini terjadi disebabkan dari adanya oknum tertentu yang ingin menjatuhkan wibawa pemerintah di tengah kondisi darurat ini, dengan cara menebar teror dan mengharapkan agar opini publik berkembang bahwa sahnya pemerintah dalang dibalik semua teror ini.
Ketiga, kejadian teror ini juga dapat disebabkan oleh adanya kaum fanatik yang secara berlebihan terlalu mengkultuskan presiden Jokowi, sehingga akal sehat mereka tidak digunakan lagi dalam menanggapi tema diskusi publik yang diusung kelompok belajar CLS, yang kemudian berujung pada aksi teror dan ancaman pembunuhan.
Maka dari itu penulis mengajak kawan-kawan semua untuk tidak melakukan perbuatan serupa karena dilatarbelakangi ketiga faktor diatas, dan lebih objektif dalam menyikapi segala sesuatu, serta dewasa dalam bernegara.
Saran
Dalam mempertahankan sistem demokrasi serta memupuk nilai-nilai demokratis di negeri kita tercinta, penulis berharap agar pemerintah membentuk tim untuk mengusut peristiwa teror ini. Serta menghukum secara tegas pelaku sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Selanjutnya penulis berharap pemerintah bersama kepolisian lebih responsif dalam menanggapi peristiwa seperti ini, dan merencanakan suatu tindakan preventif agar kejadian serupa tidak terjadi.
Hal demikian dirasa penting supaya peristiwa kelam di masa orde baru tidak terulang lagi, dimana kebebasan mimbar akademik pada masa itu sanggat dibatasi.
Selanjutnya, penulis juga berharap agar korban dari aksi teror ini, diberikan pengawalan oleh polisi di daerah korban berdomisili sekarang agar keselamatan korban lebih terjamin.
Mohon maaf atas segala kekeliruan dalam tulisan ini “segala yang buruk datangnya dari saya, dan segala yang baik merupakan berkah dari yang maha kuasa’’
Penulis: Andi Muhammad Alief, mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan aktif di CCLS.