New Normal: Pemaknaan Hidup dan Realitas VIrtual
Manusia adalah makhluk berintelejensia yang sangat adaptif dengan lingkungan sekitarnya, perubahan demi perubahan yang terjadi sepanjang peradaban adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilalui dan dihadapi oleh manusia. Baik perubahan yang mereka kehendaki hingga perubahan yang terjadi secara alami diluar kehendak manusia itu sendiri.
Dalam laju peradaban manusia, satu hal yang tak bisa dilepaskan lagi dari kehidupan manusia saat ini adalah teknologi. Walaupun tak bisa dinafikan, masih ada manusia yang belum sama sekali mengenal lebih dekat dan mendalam tentang teknologi dalam hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang masih memegang teguh dan mengikuti kultur leluhurnya, menjaga tradisi mereka??memilih hidup di wilayah-wilayah pedalaman (hutan) ataupun yang berada di tengah lautan??jauh dari kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengakses informasi.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah membawa manusia pada sebuah tatanan dimana jarak dan waktu tidak lagi menjadi permasalahan. Teknologi sebagai produk dari pemikiran manusia selama berabad-abad lamanya, telah membawa manusia ke dunia baru, dimana kesemuan (virtual) dipahami sebagai realitas.
Di era posmodern ini, manusia telah meninggalkan mekanik jaman modern yang terstruktur dan empiris, menggantinya dengan mesin intelejensia yang memproduksi ruang virtual, sebuah realitas baru. Sebagaimana yang menjadi anggapan Barthes, posmodern telah menghasilkan spesies baru tanda, sebuah tanda yang adalah tanda itu sendiri, tanda yang didalamnya petanda tidak berlaku. Tanda ini melampaui tanda yang semestinya, ia adalah hypersign (Piliang, 2012). Memang terkesan begitu rumit untuk dipahami, namun beginilah adanya bahwa ruang virtual yang tercipta telah melebur dengan ruang realitas nyata manusia akibat perkawinan manusia dengan teknologi digital.
Hal ini senada dengan apa yang disampikan oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer asal Prancis sebagai suatu hal yang disebut dengan Hyperrealitas. Hiperrealitas merupakan sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (Jean Baudrillard, 1988). Hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran.
Konsekuensi logis yang akan dirasakan oleh manusia akibat terciptanya realitas virtual ini adalah kesemuan identitas. Dalam ruang virtual akan terbentuk sebuah identitas virtual (virtual identity) yang memberi kemungkinan terjadinya perbedaan identitas di dunia nyata.
Dalam dunia nyata, konsep identitas dipahami dengan satu paham bahwa “satu tubuh, satu identitas” (Judith, 1996). Identitas tersebut akan terpaku dalam satu tubuh yang akan berkembang dan berubah seiring bertambahnya usia. Dalam dunia virtual, seseorang dalam dunia nyata bisa saja membuat satu, dua, tiga, atau bahkan ribuan identitas virtual sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Juga memungkinkan seseorang menampilkan identitas semu (palsu) yang tidak ada keterkaitan dengan identitas pribadinya dalam dunia nyata.
Penggunaan identitas semu ini mereka gunakan untuk berbagai keperluan diantaranya untuk mendorong kebebasan dalam menggunakan akun media sosialnya, menutupi identitas asli untuk pemenuhan rasa aman, membuat keresahan atau hanya sekadar ikut-ikutan.
Kenafikan Virtual
Komunikasi merupakan bagian yang terpenting dan vital dalam kehidupan manusia. Tanpa komunikasi maka manusia dapat dikatakan “tersesat” dalam menjalani kehidupan. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman, baik secara lisan, tulisan, gambar, langsung maupun tidak langsung (Rulli, 2012). Ruang virtual, sebagai bagian dari perkembangan kehidupan sekarang ini, telah memberi pelebaran ruang bagi manusia dalam menjalin interaksi dan komunikasi.
Komunikasi virtual yang terjadi membuat manusia lebih mudah untuk saling kenal-mengenal di dunia maya. Dengan bermodalkan smartphone, kuota atau koneksi wifi, setiap manusia yang berada di belahan dunia manapun, kapanpun bebas untuk menjalin interaksi melalui media sosial, memperkenalkan dirinya melalui postingan-postingan ataupun hanya sekadar mencari informasi.
Media sosial telah menjadi media presentasi diri manusia, namun apa yang terkadang orang-orang posting di media sosial tidak selalu menggambarkan atau merepresentasikan keadaan social life mereka yang sebenarnya. Ini yang penulis sebut sebagai suatu “kenafikan virtual”.
Pada ruang virtual, kenafikan merupakan sebuah kondisi dimana orang-orang memrpoduksi kebohongan-kebohongan akibat keterlarutan semu yang membawa mereka terlena akan keterusterangan untuk menampilkan diri yang asli (memperlihatkan diri sebagaimana mestinya) demi memperlihatkan dan menjaga image baik (pencitraan) yang telah mereka bangun sebagai suatu identitas virtual dalam dunia maya dan dalam hal ini media sosial adalah sarana yang dijadikan ruang untuk melancarkan hal tersebut.
Media sosial dapat kita ibaratkan sebagai sebuah pertunjukan atau lakon yang disaksikan melalui layar smartphone. Tak berbeda jauh dengan film dan sinetron yang ditayangkan di televisi dengan berbagai karakter-karakter pelaku, ataupun sebuah pentas yang dipertontonkan di atas panggung teater. Di media sosial, setiap orang bebas memilih untuk menjadi siapa, tergantung bagaimana kemauan dan kemampuan mereka dalam membentuk identitas virtualnya untuk menarik perhatian (teman online) penontonnya.
Sehingga tak ayalnya, banyak ditemukan orang-orang yang sengaja membangun sebuah citra (image baik) yang ingin diperlihatkan pada teman-temannya dalam front stage (realitas virtual), namun segalanya berubah dan begitu berbeda ketika ditemui di kehidupan sehari-hari dalam dunia nyata. Dunia nyata adalah back stage (real life), sebuah panggung dimana seseorang melepas jubah identitas virtualnya dan harus menerima kenyataan hidupnya yang dimana tidak ada lagi penonton dari teman-temannya di media sosial.
Tetapi hal ini juga turut memberi dampak pada kehidupan nyata, dimana manusia yang tengah terlarut dalam realitas semu akan menjadi teralienasi dengan lingkungan sosial ataupun lingkungan sekitar. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik dalam menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain. Ini pun sesuai dengan pernyataan Baudrillard, “kita terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi.”
Hal ini merupakan bukti dari terjadinya simulasi realitas sosial hingga hiperrealitas virtual yang berlangsung di kebanyakan orang-orang sebagai konsekuensi atas digitalisasi yang telah hadir sebagai produk dari perkembangan teknologi yang diciptakan dan sekaligus dikonsumsi oleh manusia-manusia posmoderen.
Digitalisasi dalam segala bidang menjelma seperti sebuah virus yang tak terdeteksi dan perlahan menghancurkan manusia, ia menawarkan kebebasan dan kemudahan yang virtual (semu) tetapi dibalik itu sebenarnya manusia sedang dihegemoni, diatur dan dimasukkan kedalam sistem yang terstruktur.
New Normal : Upaya tuk Kembali Memaknai Hidup
Manusia sebagai suatu entitas rumit dengan berbekal akal pikir yang luas, perasaan yang tidak mudah dimengerti, sifat yang melekat kuat, serta sikap yang penuh kejutan menjadikannya sebagai makhluk yang berbeda diantara makhluk lain yang ada dalam kehidupan ini.
Di era digital seperti sekarang ini, sebelum wabah penyakit Covid-19 menimpa umat manusia,. telah ada sebuah kondisi yang dikenal dengan istilah posttruhth (pasca-kebenaran), dimana kebenaran sudah tidak lagi bersifat monolitik; setiap dari diri manusia, dapat memilih kebenarannya masing-masing tanpa harus mengetahui sejauh mana objektivitas kebenarannya. Tapal batas antara kebenaran dan kepalsuan telah memburam di tengah gempuran informasi dalam ruang virtual yang sarat akan misinformasi dan disinformasi.
Konsekuensi dari posttruth membawa kehidupan publik lebih menomorsatukan sensaionalitas dan hal-hal yang membombong emosionalitas (Haryatmoko, 2018). Orang-orang pun akan lebih larut dalam hal-hal yang lebih menyentuh perasaan walau mengandung ketidakbenaran. Perkawinan antara postruth dan kenafikan virtual yang terjadi pun akan semakin menambah permasalahan. Kesenangan akan lebih mudah didapatkan pada hal-hal yang berada dalam realitas virtual yang sarat akan ketidakbenaran. Menjadi kebiasaan, mempengerahui nalar publik dan budaya hidup manusia.
Wabah penyakit yang terjadi saat ini, hanyalah segelitir variabel kehidupan yang mendorong manusia untuk tetap adaptif dan tetap survive dalam menjalani kehidupannya, sehingga manusia dalam tatanan kehidupannya memang telah diharuskan untuk senantiasa beradaptasi dengan perubahan, karena perubahan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Walaupun saat ini manusia telah diperhadapkan pada suatu fase dimana mereka mengenal istilah “new normal”.
Frasa new normal atau kenormalan baru menjadi sebuah istilah populer yang hadir tatkala kehidupan dunia tengah ditimpa oleh wabah penyakit yang membuat manusia dalam kehidupan kesehariannya harus menerima perubahan kondisi sebagai dampak adanya wabah penyakit menular.
Realitas virtual, postruth dan wabah penyakit dalam kenormalan baru adalah satu kesatuan kehidupan yang harus dihadapi dan dilalui oleh umat manusia saat ini. Lalu bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan kenormalan baru untuk lebih memaknai hidup?
Makna hidup manusia yang satu dan yang lain memang memiliki keunikannya masing-masing, situasi dan kondisi hidup manusialah yang memberi perbedaan akan hal ini. Makna itu pun tidak akan pernah habis, dengan menjalani pengalaman-pengalaman hidup yang baru, manusia terus-menerus memperbaharui makna hidupnya sendiri. Keberagaman dan kekayaan makna hidup itulah yang menjadi daya bagi manusia untuk menjalani hidup.
Saat pencarian makna hidup manusia berjalan dengan baik, ia tidak hanya dimampukan untuk bergembira dalam hidup, melainkan juga siap menghadapi setiap situasi hidupnya, termasuk penderitaan dan tatanan kehidupan baru (new normal). Namun, tidak hanya berhenti sampai di situ saja, makna hidup akhirnya juga memampukan manusia untuk memberikan dirinya bagi orang lain. Saling berbagi kepingan-kepingan daya tuk bersinergi dalam menghadapi kenyataan.
Sehingga pada saat ini, tatkala pemangku kebijakan tengah mempersiapkan beragam aturan dan upaya lainnya untuk menghadapi kenormalan baru. Setiap individu dari umat manusia sebagai pelaku utama kehidupan terlebih dahulu harus senantiasa menyiapkan diri??memulai dari diri sendiri, untuk lebih memahami kenyataan dan menjaga ritme hidupnya.
Menyambut kenormalan baru ini dengan kembali berupaya mencari pegangan yang kuat dan kokoh, agar makna hidup terus memberi sokongan daya, penopang diri, serta menjadi obat penyembuh atas segala situasi dan kondisi duka yang dialami oleh manusia.
Sesederhana apapun penggalian akan kebermaknaan hidup itu, semoga membawa ketenangan dan menjauhkan diri manusia dari keterasingan jiwa.
Penulis: Andi Geerhand, kaum rebahan.