Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Jun 12, 2020

Pandemi dan Soal Kepercayaan

Belum lama kita digemparkan oleh sebuah kabar tentang seorang ibu yang melahirkan, sang ibu tersebut melahirkan seorang bayi yang langsung dapat berbicara sesaat setelah dilahirkan “jika kalian mau selamat, maka harus memasak telur”. Misalnya kalian punya keluarga 5 orang dalam satu rumah maka harus memasak telur sebanyak itu.

Kira-kira seperti itulah keterangan dari kabar yang beredar dan menggemparkan jagat sosial media kita, sehingga para orang tua, terutama ibu-ibu dengan penuh keyakinan dan rasa percaya rela bangun secepat mungkin untuk merebus telur dan membangunkan seluruh anggota keluarganya dengan harapan agar bisa selamat dari musibah yang terjadi. Melihat kejadian tersebut patut disayangkan ternyata banyak diantara kita yang mempercayai berita tersebut.

Pasalnya beberapa hari kemudian orang yang pertama kali menyebarluaskan kabar tersebut menyampaikan permohonan maaf atas berita hoax yang telah tersebar kemasyarakat. Barangkali dari kejadian ini memperlihatkan karakter masyarakat kita yang masih memiliki rasa kepercayaan yang tinggi terhadap orang lain atau memang karena tingkat literasi kita yang belum mampu memfilter lalulintas informasi yang bertebaran, sehingga berita hoax dengan begitu mudah dipercaya.

Tetapi disisi lain ternyata bangsa juga memiliki krisis kepercayaan yang sangat tinggi. Antara masyarakat dan pemerintah, Presiden dan DPR, antara ormas dan organisasi lainnya, antara senior dan junior, mereka saling memupuk kecurigaan terhadap satu sama lain.

Tidak jarang pula krisis kepercayaan itu nyata kita temui dalam lingkungan keluarga, antara suami dan istri, anak dan orangtua, sesama saudara ataupun tetangga, bahkan krisis kepercayaan itu hampir pasti pernah kita alami sendiri dalam kehidupan ini. Kita coba menengok Negara yang menganut paham individualisme, sebut saja Amerika, Inggris, ataupun Australia, mereka hidup berdampingan dengan tingkat individualis yang tinggi.

Individualisme sendiri memiliki pandangan moral, politik, atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung jawab dan kebebasan sendiri. Seorang individualis akan melanjutkan pencapaian dan kehendak pribadinya, mereka menentang intervensi dari masyarakat, Negara dan setiap badan atau kelompok atas pilihan pribadi mereka. Misalnya saja ketika mereka sedang berbelanja dan mencoba menitipkan barang belanjaannya kepada orang lain, mereka akan merasa sangat tidak nyaman.

Ketidaknyamanan mereka bukan karena bukan karena perasaan was-was barangnya akan dibawa kabur, tetapi mereka merasa tidak nyaman jika harus merepotkan orang lain. Sementara itu, di Negara kita yang tercinta ini Indonesia, ketika seseorang berada disebuah taman misalnya, dan tiba-tiba saja perut terasa mulas dan berusaha mencari WC disekitar taman tersebut, yang mana pada saat itu juga kita memiliki barang bawaan seperti koper atau tas, pada situasi yang demikian kita berusaha agar tidak menitipkan barang yang kita bawa itu kepada orang lain, apalagi kepada seseorang yang tidak kita kenal yang kebetulan juga sedang berada di taman itu.

Bukan karena tidak ingin merepotkan orang lain, bukan karena tidak mengenal orang-orang yang berada di taman itu juga, bahkan orang yang dikenal sekalipun kita sering menaruh curiga. Alhasil barang bawaan tersebut juga diikut sertakan kedalam WC. Hal ini sangat jelas menunjukkan krisis kepercayaan yang sangat tinggi diantara kita dan menjadikan kita bersikap individualis, bahkan individualis kita melebihi individualis orang-orang yang pada dasarnya memang menganut paham individualisme.

Beberapa hari yang lalu kita juga sempat dihebohkan dengan sebuah video yang saat itu viral dibagikan hampir disemua group sosial media kita. video tersebut memperlihatkan sebuah pengakuan salah seorang anggota keluarga yang merupakan anak dari seseorang yang pada waktu itu meninggal disalah satu Rumah Sakit yang ada di Manado.

Sang anak mengungkap telah disogok dengan sejumlah uang oleh pihak Rumah Sakit agar sang ayah yang telah meninggal tersebut dikebumikan sesuai protokol penanganan jenazah bagi penderita Covid-19, tengtu saja sang anak menolak sejumlah uang yang disodorkan itu dengan alasan sang ayah meninggal bukan karena menderita Covid-19. Selang beberapa hari kemudian setelah video itu viral dan beredar dimana-mana sebagaimana yang dikutip dari MANADOPOST.ID direktur utama (Dirut) RS Pancaran Kasih dr Frangky Kambey, akhirnya angkat bicara.

Terkait tudingan dari keluarga salah satu pasien yang sempat dirawat di Rumah Sakit tersebut. Kambey menegaskan, isu menawarkan sejumlah uang untuk menyogok, tidak benar. “saya atas nama direksi dan seluruh karyawan Rumah Sakit GMIM Pancaran Kasih, turut berbelasungkawa atas kepergian almarhum yang meninggal di Rumah Sakit kami siang tadi (kemarin, red),” katanya. Peristiwa tersebut kembali memperlihatkan tentang krisis kepercayaan yang selama ini diderita oleh bangsa kita, hampir disetiap lini dan sektor kehidupan rasa percaya itu setiap hari terus terkikis sedikit demi sedikit.

Nyatanya krisis kepercayaan ini tampak bertentangan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi seperti yang saya sebutkan diawal sehingga berita hoax pun kita percayai, keduanya hanya tidak tampak bertentangan jika benar bahwa bukan karena tingkat kepercayaan kita yang tinggi, melainkan tingkat kebodohan dan linterasi kita yang memang harus diakui masih sangat begitu rendah.

Krisis kepercayaan yang dialami memang telah mengakar rumput dan bukan tak beralasan, berbagai persoalan yang terjadi di Negara ini seperti KKN, pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial, dan lain-lain tampak belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, yang menjadikan masyarakat tidak lagi percaya pada sebuah janji-janji saat masa kampanye. Selain itu juga tampak Negara kita sedang menuju menjadi sebuah Negara distopia dimana pemimpin dan pemerintahnya memperlakukan masyarakat dengan tekanan, teror, ancaman dan hal separatis yang semakin menumbuhkan benih-benih krisis kepercayaan demi sebuah legitimasi.

Akhir-akhir ini krisis kepercayaan itu kembali terkikis, kali ini terkait berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai gagal dalam upaya penanganan pandemi global. Jadi selain wabah, kita juga sudah sekian lama dilanda krisis kepercayaan dalam tubuh bangsa kita.

Tapi meskipun demikian, dalam mengatasi wabah virus ini diperlukan kerjasama dari semua pihak, karenanya kepercayaan antar sesama adalah modal yang kuat untuk menciptakan kerjasama yang baik agar wabah ini dapat segera diatasi. Orang sering mengatakan kepercayaan itu mahal, bahkan tidak dapat dibeli dengan uang.

Karenannya kepercayaan itu sulit didapatkan, satu saja kesalahan dengan melakukan sebuah kebohongan, dapaat mengahapus ribuan kepercayaan lainnya yang kita punya. Sehingga kita perlu pandai dalam menjaga kepercayaan yang ada agar tidak segera mati dan hilang. Tidak salah jika Francis Fukuyama kemudian mengatakan dalam bukunya Trust (1995) hancurnya suatu bangsa adalah karena tidak adanya rasa saling percaya antara sesama anggota masyarakat.

Karena semakin kita hidup dalam suasana ketidakpercayaan ini maka akan semakin besar masalah yang akan dihadapi bangsa ini. Karena suatu persoalan yang dihadapi dengan rasa saling curiga satu sama lain tentu tidak mungkin dapat teratasi dengan baik.

 

Penulis: Muh Akbar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.