Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 23, 2020

Proses Persidangan Kasus Novel Baswedan Sandiwara?

Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dihadapan persidangan yang memuat identitas pelaku, kronologis peristiwa dan ketentuan pidana atas kronologis perbuatan. Setelah itu, terdakwa dan atau penasihat hukum menyampaikan “eksepsi” atau keberatan atas dakwaan JPU, keberatan tersebut disampaikan atas dakwaan yang dianggap kabur, tidak jelas. Seperti tidak memuat identitas dan kronologis yang jelas (keabsahan surat dakwaan).

Kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti oleh kedua belah pihak untuk mencari dan mengungkap fakta-fakta persidangan, umumnya pemeriksaan alat bukti merupakan waktu yang tepat bagi penegak hukum untuk mengungkap kebenaran. Setelah semua tahap persidangan dilalui, JPU dipersilahkan oleh Hakim untuk membacakan tuntutan dengan pertimbangan fakta-fakta persidangan.

Jika dihubungkan dengan kasus penganiayaan yang melibatkan dua terdakwa inisial RK dan RB, ditemukan fakta persidangan oleh JPU, bahwa kedua terdakwa tidak “sengaja” menyiram air keras ke wajah Novel Baswedan. Sehingga tindakan terdakwa tidak terbukti melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP karena terdakwa dinilai tidak memiliki niat untuk menyerang dan melukai wajah Novel Baswedan, hanya sekadar memberikan “peringatan” kepada korban atas perilaku korban yang berkianat.

Tidak terpunuhinya unsur-unsur Pasal 355 ayat 1 KUHP tersebut, tidak membuat JPU kehilangan akal berfikir untuk menjerat terdakwa, sehingga JPU menilai terdakwa berdasarkan perbuatannya melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP yang berbunyi “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun”. Artinya, JPU menganggap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah penganiayaan yang tidak direncanakan terlebih dahulu.

Atas dasar hal itulah, menurut JPU terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum. Sehingga dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun.

Tuntutan yang disampaikan oleh JPU dalam perkara NB adalah kewenangan prerogatif yang dimiliki oleh penuntut umum, sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Secara normatif, tuntutan JPU sudah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana dan KUHP, karena pada Pasal 353 ayat 2 yang berbunyi “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun”. Artinya, JPU dapat memberikan tuntutan dibawah 7 tahun berdasarkan dengan fakta-fakta persidangan, karena bunyi pasal tersebut tidak ada ketentuan minimumnya, yang ada hanyalah istilah “paling lama”.

Yang salah ketika bunyi pasal 353 ayat 2 memuat kalimat “dikenakan pidana penjara minimum 7 tahun”, kemudian JPU menuntut hanya 1 tahun, itu yang salah. Jadi, jika bunyi pasal 353 ayat 2 terdapat kata “minimum 7 tahun”, maka dalam tuntutan JPU tidak diperkenankan dibawah 7 tahun, begitupun sebaliknya. Karena itu, tuntutan JPU dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa RK dan RB secara normatif hukum dapat dibenarkan.

Tapi, dalam perspektif psikologis, tuntutan tersebut tidak dapat begitu saja diterima oleh akal sehat. Jika diperbandingkan dengan kasus yang terjadi di Bengkulu pada tahun 2008, inisial R yang kala itu sebagai terdakwa dituntut oleh JPU dengan pidana penjara selama 10 tahun. Kasus yang dialami oleh R, sama dengan kasus yang melibatkan RK dan RB.

Mengingat karena status kedua terdakwa adalah anggota polri yang melakukan penyiraman kepada Novel Baswedan yang saat itu aktif sebagai penyidik yang sedang bertugas menjalankan tugasnya sebagai “pembasmi koruptor”, seyogyianya para terdakwa dengan status abdi Negara dituntut oleh JPU dengan pidana penjara minimal 7 tahun. Tidak ada alasan pembelaan yang dapat meringankan para terdakwa, justru karena statusnya sebagai anggota kepolisian, JPU harus menunjukan ketegasan dan keberanian untuk menjerat terdakwa atas perbuatan yang telah diperbuat.

Disamping itu, pengakuan para terdakwa dalam persidangan yang menyatakan tindakan penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan adalah bentuk ketidaksengajaan. Secara logika sangat tidak masuk akal, karena tindakan terdakwa dilakukan dengan sangat rapi dan dipersiapkan dengan baik, yang menyebabkan mata sebelah kiri Novel Baswedan mengalami cacat permanen (tidak berfungsi).

Menurut saya, tindakan tersebut adalah bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh para terdakwa karena mereka secara sadar mengetahui akan dampak dari perbuatannya dan menghendaki terjadinya penganiayaan tersebut.

Jika ditinjau dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak ada satu pasal-pun yang memberikan pengertian secara tegas tentang kesengajaan. Namun, pengertian kesengajaan dalam Memorie Van Toelichting (MvT) adalah dengan sadar berkehendak yang ditujukan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. Artinya, penyiraman air keras kepada NB murni karena faktor kesengajaan dilakukan secara sadar dan dikehendaki terjadi.

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal 7 macam kesengajaan. Satu diantaranya berhubungan dengan kasus ini yaitu dolus premeditates. Dolus Premeditates menurut Prof. Teguh Prasetyo yaitu kesengajaan dengan rencana terlebih dulu.

Jika dicermati kasus Novel Baswedan dengan mempertimbangkan teori kehendak yang dipopulerkan oleh Von Hippel, seharusnya para terdakwa dapat dituntut oleh JPU dengan Pasal 355 ayat 1 karena perbuatannya dilakukan atas dasar kehendak secara sadar dengan maksud untuk melukai dan direncanakan jauh-jauh hari.

Pasal 355 ayat 1 berbunyi “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Istilah penganiayaan berat adalah perbuatan yang mengakibatkan korban luka-luka, seperti kehilangkan salah satu matanya.

Perbuatan terdakwa RB dan RK telah memenuhi unsur-unsur Pasal 355 ayat 1 yaitu kesengajaan melakukan penyiraman, direncanakan karena persiapannya sangat matang, dilakukan dengan hati, pikiran yang tenang, serta mempersiapkan waktu yang baik sebelum menyerang dan mengakibatkan luka berat mata novel baswedan mengalami cacat permanen.

Namun, karena JPU menilai dan menemukan dalam fakta persidangan, maka keputusan JPU harus dihormati sampai dengan adanya putusan pengadilan.

Ultra Petita Dalam Perkara Novel Baswedan

Dalam hukum acara pidana dikenal istilah asas hukum “ultra petita”, yang artinya hakim dalam memutus suatu perkara dapat menjatukan putusan melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Asas ini didasarkan pada prinsip bahwa hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara memiliki kebebasan yang dijamin dalam ketentuan Pasal 24 UUD NRI 1945.

Perkara kasus terdakwa RK dan RB yang dituntut oleh JPU dengan hukuman pidana penjara 1 tahun. Hakim dengan segala pertimbangan berdasarkan fakta-fakta persidangan, dapat saja mengabaikan tuntutan JPU dengan memberikan putusan yang jauh lebih berat, jika itu diperlukan oleh Hakim.

Hal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatukan putusan kepadanya”. Istilah “yang didakwakan” adalah tuntutan yang disampaikan oleh JPU dihadapan persidangan. Terkait tuntutan JPU terhadap terdakwa RK dan RB tersebut dapat diabaikan oleh hakim berdasarkan asas Ultra Petita.

Kesimpulan

Putusan pengadilan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat kepada hukum dan penegak hukum, khususnya pada kasus Novel Baswedan yang sejak 2017 sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat. Karena itu, melalui tulisan ini kami menantikan “palu” hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menjatuhkan vonis seadil-adilnya kepada terdakwa.

Fiat Justitia Ruat Caelum.

 

Penulis: Tabirul Haq, alumni Hukum Universitas Indonesia Timur dan aktif di WALHI Sulsel.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.