Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Jan 02, 2021

Refleksi dan Reformulasi Gerakan Muhammadiyah

Teringat Haji Misbach yang awal mulanya pernah menentang Muhammadiyah untuk tidak bergerak aman di periodisasi awal berdirinya. Adalah “Radikal Movement” adalah usulan haji Misbach untuk muhammadiyah dalam menentang imperialis belanda yang semakin jumawa. Usulan ini tidak terlepas dari background haji Misbah yang sangat fanatik dengan pemikiran marxisme dan komunismenya. Haji Misbah kala itu begitu kecewa dengan gerakan muhammadiyah yang cenderung berpihak pada gerakan kapitalis.

Kemudian, siapa yang tak mengenal Haji Agus Salim. Saudara seperjuangan Ahmad Dahlan kala di Sarikat Islam yang pernah suatu waktu menyampaikan sebuah pernyataan dilematis kepada peserta sidang kala itu. Beliau menyampaikan bahwa muhammadiyah sejatinya tak memiliki alat kelamin. Dengan basis massa yang begitu besar, sudah semestinya muhammadiyah menjadi organisasi politik.

Sontak pernyataan tersebut membuat Ahmad Dahlan terlihat geram dan membuat seluruh musyawirin terdiam. Beliau membalas argumen agus salim dengan melemparkan sebuah pertanyaan fundamental yang sekiranya tak mampu di jawab oleh peserta sidang pada saat itu. Beliau mengatakan, “Apa itu muhammadiyah?, Apa itu Islam?”.

Sehingga dari pertanyaan tersebut, kembali mengafirmasi keinginan Ahmad Dahlan bahwa muhammadiyah tetap kukuh dengan orientasi gerakan dakwahnya untuk tidak terlibat dalam praktik “politik praktis”.

Sepenggal sejarah monumental tersebut merupakan catatan historis bagi organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini. Bahwasanya, formulasi gerakan dakwah muhammadiyah tidak serta merta hadir begitu saja, tapi merupakan sebuah dialektika historis. Sebagai Organisasi Moderat, kehadiran Muhammadiyah adalah keharusan sejarah bangsa Indonesia.

Komitmen teguh dalam membela kaum marjinal dan mustdhafin adalah cita-cita utuh dari Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi ini. Muhammadiyah sendiri lebih memikirkan nasib regenarasi bangsa ketimbang aktif dalam politik praktis, walaupun dalam catatan sejarah juga membuktikan bahwa organsiasi ini pernah terlibat sebagai anggota istimewa partai Masyumi kala itu.

Sebagai organisasi tajdid (Pembaharu), layak untuk mengenal lebih dekat bagaimana Trias gerakan dakwah Muhammadiyah yang sudah bertahan kurang lebih 2 abad. Sebut saja upaya Muhammadiyah dalam mereduksi sinkretisme dalam konteks keagamaan, kemudian bagaimana muhammadiyah melembagakan amal saleh dengan mendirikan institusi pendidikan, kesehatan dan lembaga sosial yang sebagaimana juga digunakan untuk merespon isu-isu kemanusiaan secara universal.

Terlepas dari hura hara fragmentasi ideologis dalam tubuh muhammadiyah, Beberapa tokoh intelektual progresif muhammadiyah menganggap bahwa Gerakan Islam Berkemajuan muhammadiyah yang telah bertahan lama ini perlu kiranya mengalami reformulasi gerakan. Hal ini tak terlepas dari kondisi geopolitik, psiko-sosial masyarakat indonesia saat ini. Maka rute yang tepat untuk melakukannya ialah dengan jalan ijtihad.

Ijtihad Gerakan Dakwah Muhammadiyah Abad 21

Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu hukum di mana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits. Jadi, bisa dikatakan, ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Hadits.

Upaya Ijitihad diangap perlu di kembangkan ditengah kondisi bangsa yang semakin kolot akhir - akhir ini. Ini bukanlah hal baru dalam sebuah organisasi muhammadiyah, perkembangan wacana gerakan dan pemikiran adalah niscaya adanya agar dinamisasi dalam tubuh organisasi tetap terjaga. Karena orientasi dakwah muhammadiyah dengan gerakan dakwahnya saat ini bukanlah bersifat ilahiah. Maka penulis mencoba menawarkan upaya ijtihad yang seyogyanya bisa menjadi upaya dialektis dalam tubuh muhammadiyah.

1. Ijtihad Filantropi

Gerakan filantropis bukanlah hal baru dalam tubuh muhammadiyah. Sebagai Organisasi “Sosial movement” dan organisasi kosmopolitan, gerakan sosial kemasyarakatan telah lama dipelopori dan digeluti oleh muhammadiyah. Konsep teologi al-maun membutuhkan formalisasi gerakan. Sehingga inilah yang meniscayakan muhammadiyah tetap setia dengan Lazizmu nya.

Bahkan di tengah pandemi saat ini, organisasi sosial keagamaan ini tetap eksis dengan Muhammadiyah Covid -19 Comman Center (MCCC). Hal ini yang perlu di refleksi kembali bagaimana muhammadiyah tidak hanya terpaku pada gerakan puritan yang ingin mereduksi praktik sinkretisme di tengah masyarakat, tapi tanggung jawab sosial (humanisasi) adalah sebuah keniscayaan.

Sebagaimana yang di pertontonkan oleh organsasi ini, juga sebuah keharusan untuk warga muhammadiyah menginternalisasikan sikap filantropi dalam setiap praksis gerakan dakwahnya.

2. Ijtihad Informasi

Di era disrupsi teknologi, kepastian adalah kekuatan (Yofal Noah Harrari). Selain masalah degradasi ekologis yang mengancam kelangsungan hidup manusia, disrupsi teknologi juga dapat mengubah sifat kemanusiaan manusia itu sendiri. Keberadaan diktator digital yang tak kalah jumawa saat ini, serta huru hara algoritma nya, berdampak pula pada perkembangan informasi.

Teknologi yang berperan sebagai media komunikasi dan informasi rasa-rasanya cukup memuakkan saat ini. Obesitas informasi di abad 21 membuat masyarakat dalam perspektif psiko-sosial mejadi terkotak-kotakkan. Sehingga, dampak dari obesitas informasi melahirkan kebohongan yang begitu masif dan tersistematis (Hoax). Akibatnya, kebohongan yang tersistematis ini ketika di ulang-ulang niscaya akan menjadi kebenaran publik (Goebels).

Problematika informasi tersebut adalah prasyarat kuat untuk muhammadiyah hadir sebagai penengah (Wasathiyah) ditengah gelombang Hoax akhir-akhir ini. Bukan untuk menjadi otoritas informasi, tapi upaya untuk meluruskan opini publik dengan informasi akurat adalah rute yang bisa digunakan muhammadiyah sebagai lahan dakwah baru.

Sehingga, ketika upaya-upaya tersebut di gunakan oleh muhammadiyah, maka potensi untuk mereduksi gerakan Buzzer yang cukup memuakkan akhir-akhir ini bisa di minimalisir. Inilah Yang disebut sebagai “Jihad Digital”. Selain berupaya untuk meluruskan opini publik, dengan jihad digital ini juga bisa di kembangkan kultur literasi masyarakat sosial media dengan komitmen untuk mencerdaskan khalayak luas dan ini sudah di pelopori oleh komunitas-komunitas literasi di AMM yang semakin massif.

3. Jihad Konstitusi

Tujuan bernegara harus sesuai dengan cita-cita nasional yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Dalam mewujudkannya, Muhammadiyah mempunyai peran penting dalam meluruskan kiblat bangsa, sebagai bagian Amar ma’ruf Nahi Mungkar.

Kehidupan berbangsa hari ini telah terjadi dan tengah terjadi distorsi (perubahan makna) dan deviasi (penyimpangan) dari cita-cita nasional yang telah diletakkan para pendiri bangsa. Dari keadaan tersebut maka perlulah rakyat Indonesia meluruskan kiblat bangsa.

Maka keberadaan muhammadiyah di anggap perlu mengadvokasi segala permasalahan kebangsaan yang begitu picik saat ini dengan tetap memperhatikan koridor organisasi. Upaya Pengadvokasian ini sudah lama di serukan oleh tokoh elit muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin. Dan Hal ini perlu bergaining power yang kuat dari seluruh eleman untuk merumuskan gerakan advokat ini secara tersistematis. 

Hal ini tidak terlepas dari ragam pemikiran dan background akademik para intelektual muda muhammadiyah yang bisa di berdayakan di bidang Humas ini. Karena, cukup dilematis juga ketika upaya advokasi terhadap segala kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat hanya sebatas seminar, kajian, dan nihil rumusan gagasan serta praksis gerakan.

Perlu kiranya upaya formalisasi gerakan secara sistematis, agar dakwah muhammadiyah mampu di rasakan di ranah Hukum sehingga gerakan dakwah muhammadiyah tidak hanya sebatas gerakan “verbalisme”.

Sebagai organisasi intelek-sosio movement, upaya pengembangan wacana pemikiran dan wacana gerakan dakwah muhammadiyah adalah sebuah keniscayaan. Muhammadiyah mesti beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Bukanlah hal yang ilahiah sehingga jargon progressif mampu di jewantahkan dan upaya untuk mencapai “Baldatun Thayyibatun Wa rabbun ghafur” mampu kita capai.

 

Penulis: Rahmad Ariandi, PC IMM Kota Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.