Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 27, 2020

Ruang Demokrasi Kampus Semakin Tergerus

DO atau Drop out bagi mahasiswa adalah hal yang paling tidak di inginkan oleh setiap mahasiswa selain karena DO itu memutuskan proses pendidikan formal yang tengah berjalan tapi membuat kita seakan menghianati amanah dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Keluarnya kebijakan DO bagi mahasiswa tak lain disebabkan IP yang tak memenuhi syarat entah karena faktor salah jurusan, salah perguruan tinggi, terlalu aktif dalam organisasi, atau kuliah sambil kerja. Faktor – faktor tersebutlah yang dulunya menjadi penyebab mahasiswa mendapatkan IP yang rendah sehingga mereka DO dari kampus. Itu dulu tapi kondisi sekarang sudah berbeda.

Drop Out atau DO seakan sudah jadi fenomena yang lumrah dalam lembaga Pendidikan tinggi beberapa tahun terakhir ini. melihat data dari buku statistik perguruan tinggi 2018 mencatat angka putus kuliah atau drop out menyentuh angka 239.498 atau sekitar 3 % dari seluruh mahasiswa yang tercatat dan juga berdasarkan data yang di himpun oleh jaringan kaum muda (JARKAM), dimana selama rentang periode 2016 – 2018 ada sekitar 13 kasus terkait sanksi Drop out yang menimpah mahasiswa dari berbagai kampus negeri maupun swasta.

Meskipun data tersebut hanya dihimpun hanya data yang terangkat atau di beritakan oleh media – media, namun fakta sebenarnya bisa saja di asumsikan lebih besar lagi.

Alasan DO yang dijadikan landasan oleh birokrasi kampus pun kini lebih beragam bukan hanya karena IP yang rendah tapi karena, pertama adanya mahasiswa yang tidak mampuh membayar uang kuliah, kedua bagi mahasiswa yang dinilai hobi mengkritik kebijakan kampus, ketiga mahasiswa yang dinyatakan sudah tidak aktif ataupun melewati masa studi.

Tapi pada tulisan ini akan lebih berfokus pada DO yang diberikan oleh mahasiswa yang hobi atau “vocal” dalam mengkritik kebijakan kampus. Dimana pada kasus pertama DO dengan alasan tak mampuh membayar uang kuliah sudah sangat jelas bahwa berdasarkan kata pepatah “ada uang ada barang” sangat terlihat dengan alih – alih berusaha memberikan kesempatan dan solusi, kampus kini lebih memilih membuang mahasiswa yang tak mampu tersebut.

Seperti yang terjadi di bulan desember 2018 silam di kampus UNM terjadi pemecatan 342 mahasiswa melalui surat edaran rektor yang terbukti bahwa dari 342 mahasiswa tersebut banyak memiliki IPK di atas 3.00 dan di DO lantaran tak dapat membiayai uang kuliahnya.

Dalam kasus kedua yaitu DO dengan alasan hobi atau “vocal” dalam mengkritik kebijakan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat terjadinya proses demokratisasi, dimana kebebasan akademik merupakan salah satu bentuk demokrasi secara makro. Kampus dituntut untuk demokratis. Sebab, memang kampus dibesarkan dengan cara – cara demokratis.

Tradisi demokratis kampus dengan ciri kebebasan akademik mambuat kampus memiliki ciri pokok rasional, rasionalitas tersebutlah yang mewujudkan watak kampus yang independen. independensi itulah yang kemudian kampus makin bernilai atau tidak. Semakin independen sebuah kampus maka semakin mengagumkan rasionalitasnya.

Namun kampus justru menjadi tempat dimana suara – suara dari kritikan itu bungkam dengan senjata mematikan yakni sanksi DO dan skorsing. Hingga mengantarkan birokrasi menjadi anti kritik serta kampus yang fasis. Kasus – kasus DO karena mengkritik yang dituduh melawan kampus sering sekali bergulir dan terdengar di telinga para mahasiswa sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang diantaranya kasus DO mahasiswa UNJ yang mengkritik rektornya.

3 mahasiswa UIM yang DO karena mempertanyakan jabatan rektor yang lebih dari 2 periode. Kasus DO 22 Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta setelah melakukan aksi terkait tidak transprannya laporan keuangan kampus Ada juga 3 mahasiswa Unsri yang terkena DO karena mengorganisir demo dan dituduh sebagai provokator aksi pada tahun 2017.

Serta kasus yang masih hangat dalam telinga yakni kasus DO 11 mahasiswa STMIK Akba Makassar karena menuntut aturan larangan aktivitas malam dan tidak di tindak lanjuti sehingga mereka ngotot menginap di kampus yang berujung keluarnya sanksi DO.

Dan masih di Makassar ada kasus 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar yang di-DO lantaran mengkritisi kebijakan kampus dalam berorganisasi dimana terjadi pembatasan untuk berorganisasi. Serta kasus yang baru – baru saja terjadi yakni seorang mahasiswa Universitas Bunda Mulia (UBM) yang proaktif dalam menyuarakan tuntutan keringanan biaya kuliah di tengah Pandemi virus COVID-19 malah di paksa mengundurkan diri oleh pejabat kampus.

Dari kasus – kasus tersebut dapat kita liat betapa mirisnya proses demokratiasi kampus. Lalu terbesitlah dibenak kita kenapa begitu gampagnya DO itu dilakukan oleh kampus? Jawabanya tidak lain adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi mahasiswa.

Drop out atau pemecatan status seorang mahasiswa sudah menjadi hak otonomi kampus, di mana dalam UU no.12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi atau UU dikti tidak mengatur tentang masalah DO dan skorsing yang di perparah karena UU Dikti menjadi gerbang liberalisasi Pendidikan dengan memberikan otonomi kepada birokrasi kampus untuk mengatur kampusnya sendiri.

Sedangkan dalam Permenristekdikti no.44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) serta dalam aturan barunya Permendikbud no.3 tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi hanya mengatur batas studi mahasiswa. Dengan bergulirnya liberalisasi Pendidikan ini yang kemudian melahirkan banyak polemik di bidang Pendidikan tinggi.

Otonomi yang di berikan kampus sebesar – besarnya yang tak hanya otonomi di bidang keilmuan namun juga otonomi untuk mengatur mahasiswa serta dosen yang berada dalam lingkungan kampus sesuai keinginnya. Membuat birokrasi kampus menjadi penguasa dalam melakukan kebijakan, mereka yang membuat aturan dan mereka sendiri yang memainkannya dan mahasiswa hanya menjadi penonton mirip sekali dengan kondisi di era kolonialisme.

Sayangnya karena kurangnya perlindungan hukum terhadap mahasiswa, Ketika terkena sangsi DO atau skosing membuat, mereka kesulitan untuk mencari advokasi bagi dirinya, Karena memang tidak Lembaga khusus yang menagani Advokasi terkait DO dan skorsing. Mahasiswa cuma bisa bergantung pada seberapa besar rasa solidaritas antar sesama mahasiswa untuk bersama melawan serta menuntut keadilan dan juga seberapa besar perhatian media dan simpatisan terhadap mereka.

Jika proses advokasi cuma sebatas pendidikan massa serta pembentukan opini publik tak akan cukup untuk menghentikan praktek – praktek DO serta skorsing. Selama paraturan belum ada yang bisa memberikan perlindungan hukum kepada mahasiswa maka selama itu pula DO dan skorsing selalu menjadi momok menakutkan yang menjadi senjata mematikan bagi mahasiswa untuk dibungkam.

Padahal seperti yang kita ketahui bersama perlindungan hukum bagi mahasiswa harusnya dilandasi oleh semangat bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadikan Pendidikan sebagai hak asasi paling mendasar.

Serta sudah sangat jelas diatur dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat juga dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia juga mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat. tapi dalam proses hukum kampus, pemutusan DO dan skorsing hanya membutuhkan persetujuan birokrasi kampus dengan dalil “melanggar aturan kampus”. Disinilah terlihat bahwa lemahnya kontrol pemerintah atas Pendidikan tinggi.

Bahwa dengan keadaan ini otonomi kampus untuk bebas mengelola kampusnya sendiri memberikan ruang pada pejabat kampus menjadi hakim penentu mana yang benar dan salah tanpa ada kompromi. Dan mahasiswa hanya boleh mematuhi dan tunduk tanpa membantah, mempertanyakan, apalagi mengkritik.

Jika mahasiswa berani maka siap – siaplah anda DO dari kampus anda. Bila ini terus dibiarkan bergulir dikampus-kampus di negeri ini maka hak-hak warga negara atas pendidikan yang demokratis, terjangkau serta menyeluruh tak akan pernah tercapai.

 

Penulis: Illang, mahasiswa yang sedang belajar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.