School Well Being di Masa Pandemi COVID-19
School well being adalah kesejahteraan atau kepuasan siswa dalam memnuhi kebutuhan dasar disekolah meliputi having (kondisi material), loving (hubungan sosial), being (Pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Jika kebutuhan dasar tidak dapat terpenuhi maka ini akan menjadi hambatan dalam mewujudkan School well Being.
Saat ini kita dihadapkan pada wabah yang mengharuskan semua kegiatan dikerjakan dari rumah yang biasa disebut dengan WFH (Work From Home). Kegiatan sekolah dan kampus-kampus juga ikut dirumahkan, biasa disebut dengan SFH (School From Home).
Selama SFH mahasiswa melakukan perkuliahan secara daring. Hal ini tentu menjadi hal yang baru, perlu adanya penyesuaian diri. Yang sedari awal perkuliahan dilaksanakan dengan tatap muka tiba-tiba harus dilaksanakan secara daring tanpa persiapan yang cukup. Ada beberapa jadwal yang berubah dan ada juga yang bertabrakan sehingga harus mengkomunikasikan lagi pada dosen yang bersangkutan.
Fasilitas-fasilitas dikampus saat ini tidak dapat digunakan, sedangkan kuliah daring hanya membutuhkan fasilitas seperti kuota dan jaringan internet yang stabil. Tetapi apakah semua mahasiswa bisa memilki fasilitas tersebut? Tentu tidak semua mahasiswa bisa.
Seperti yang kita ketahui dimasa pandemik ini tingkat perekonomian masyarakat mulai menurun Tidak masalah jika itu kalangan atas, nah bagaimana dengan kalangan bawah? Mereka harus memikirkan bagaimana cara untuk bertahan hidup, bisa makan saja sudah sangat disyukuri.
Beberapa mahasiswa harus berjuang untuk mendapatkan kuota serta jaringan yang stabil terlebih lagi pada mahasiswa yang berada di kampung dan di pedalaman negeri. Jaringan yang tidak stabil bahkan terkadang hilang, kuota yang pas-pasan dan tidak jarang ada mahasiswa yang harus pergi mendaki keatas gunung, kuburan, menara (gedung-gedung tinggi) sekedar untuk mendapatkan jaringan demi mengikuti proses perkuliahan.
Manusia merupakan makhluk sosial dan saling membutuhkan satu sama lain. Karena sekarang sedang SFH, mahasiswa untuk sementara tidak dapat melakukan interaksi sosial secara langsung baik dengan sesama mahasiswa maupun dosen hanya bisa berinteraksi melalui media sosial saja. Beberapa media yang digunakan dalam perkuliahan daring seperti zoom, google meet, skype, wa grup, telegram dan berbagai media lainnya.
Metode yang digunakan seperti diskusi, ceramah presentasi. Pertanyaannya adalah apakah semua itu bisa dikatakan efektif? Bisa jadi. Dapat dikatakan efektif ketika dosen dan mahasiswa mampu interaktif dan berkomunikasi dengan efektif.
Seperti yang dikemukakan oleh Rachmah dalam hasil penelitian yang berjudul “Pengaruh School Well Being terhadap Motivasi belajar siswa” di tahun 2016 bahwa salah satu faktor terhambatnya school well being disekolah/dikampus yaitu kurangnya relasi antara dosen dan mahasiswa. Ketika guru/dosen tidak mampu memberikan aura positif kepada siswanya, maka siswa cenderung takut untuk mendekat dan guru/dosen tersebut seakan cuek dengan keadaan siswanya.
Tetapi bagaimana dengan dosen yang hanya mengajar sekedar absen, memberikan tugas, tugas dikumpul, selesai tanpa ada feedback tentu ini akan menyebabkan rasa bosan, malas dan merasa tidak nyaman saat proses pembelajaran.
Dalam penelitian yang dilakukan Hapnita,dkk di tahun 2018 yang berjudul “Faktor internal dan eksternal yang dominan mempengaruhi hasil belajar menggambar dengan perangkat lunak siswa kelas XI teknik gambar bangunan SMKN 1 Padang tahun 2016/2017” mengemukakan bahwa salah satu hal yang menjadi penghambat terwujudnya kesejahteraan dalam sekolah/kampus yaitu metode mengajar guru/dosen. Guru/dosen dalam memberikan pelajaran harus memiliki kreativitas dalam mengajar.
Guru harus pandai dan peka dalam melihat situasi dan kondisi siswa/mahasiswa dan menyesuaikan metode pembelajaran apa yang harus diberikan sehingga tidak menimbulkan rasa bosan, jenuh dan malas ketika menerima pelajaran. penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyaningsari&Mayah dengan judul “School Well Being pada siswa SMP” di 2018) hasil penelitian menunjukkan bahwa hal yang dapat menghambat terwujudnya school well being disekolah yaitu pemberian tugas yang berlebihan terhadap siswa.
Sekolah sekolah seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi siswa tetapi karena tekanan tugas-tugas yang diberikan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik maupun mental siswa sehingga kenyamanan siswa terganggu untuk memiliki school well being yang tinggi.
Pemberian tugas yang berlebihan seperti misalnya dosen A memberikan tugas yang memiliki referensi bahan bacaan menggunakan bahasa asing kemudian mahasiswa diminta untuk menjelaskan apa yang didapat dari referensi tersebut dan dikumpul sejam kemudian. Hal tersebut tentu mudah bagi yang menguasai dan paham dengan Bahasa asing. Bagaimana dengan mahasiswa yang tidak terlalu menguasai? Apakah waktu sejam itu cukup untuk memahami bahan bacaan yang diberikan?
Memberikan tanpa mempertimbangkan, waktu untuk menterjemahkan bahasa, menyederhanakan hasil terjemahan kemudian memahami apa isi bacaan dari hasil terjemahan lalu dirangkai menggunakan bahasa sendiri saya rasa waktu sejam itu kurang. Tidak heran jika hasilnya tidak maksimal karena waktu yang diberikan juga kurang maksimal.
Sekiranya tugas diberikan untuk membuat kita bisa memahami apa yang akan dipelajari. Tetapi jika hasil yang dikerjakan terburu-buru dan dikejar waktu, apakah ada hasil yang didapatkan? Atau hanya sekedar formalitas saja.
Kegiatan belajar yang monoton dalam waktu yang cukup lama atau kurang memperhatikan kebutuhan mahasiswa dapat mempengaruhi kebahagiaan mahasiswa, metode pembelajaran yang tidak bervariasi, pemberian tugas disetiap akhir kelas, sekedar mengabsen tanpa memberikan penjelasan materi.
Tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan rasa bosan, malas, prestasi menurun bahkan gangguan psikologis yang lebih berat seperti depresi, frutasi dan stress. Apakah hal ini bisa dikatakan Well Being? bagaimana dengan kamu? apakah sekolah/kampus mu sudah dapat dikatakan Well Being?
Teruntuk mahasiswa saudara seperjuangan tetap jaga kewarasan, jaga kesehatan fisik,mental, dan rohani. Salam Mahasiswa.
Penulis: Rahma Fany, mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar.