Tue, 01 Jul 2025
Esai / Kontributor / Dec 14, 2020

Tajam Ke Lawan, Tumpul Ke Kawan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai negara hukum, dimana landasan hukumnya secara konstitusional telah disebutkan dalam UUD 1945. Tentunya negara yang berlandaskan hukum pastinya sangat menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana salah dua poin yang menjadi penentu suksesnya sebuah negara dalam menegakkan hukumnya.

Indonesia sendiri menjadi negara yang berdasar atas negara hukum sejak sebelum dan sesudah UUD 1945 mengalami amandemen, meski telah mengalami amandemen terkait landasan hukum di Indonesia, hakikatnya tetap mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadikan Negara Indonesia sebagai negara hukum. 

Hukum sendiri memiliki pengertian yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan dan mencegah terjadinya kekacauan. Melihat dari maknanya, sudah sepatutnya hukum wajib ditegakkan secara adil dan merata tanpa melihat strata si pelanggar hukum di negeri ini.

Membahas mengenai hukum di Indonesia, dapat dianalogikan seperti lansia, yang telah sekarat menunggu tutup usia. Betapa tidak, seringkali penerapan hukum di negara ini sangat jauh dari orientasi alinea kedua dan alinea kelima dari ideologinya, dari kata “kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi “kemanusiaan yang adil jika berduit” serta “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” malah menjadi “keadilan sosial bagi rakyat yang kaya”.

Stigma tersebut bukanlah sebuah stigma yang baru, telah banyak yang menjadi landasan dari stigama tersebut. Bagaimana pihak penegak hukum mengadili pelaku kejahatan dengan melihat strata pelaku tersebut, jika pelaku adalah seorang pejabat ataupun memiliki ekonomi yang masuk dalam golongan kaya raya, maka siap saja menyaksikan bagaimana hukum tak lagi berdaya dihadapan pelaku, lain cerita lagi jika pelaku adalah seorang rakyat biasa, maka hukum akan berkibar sesuai dengan bendera awalnya.

Kasus seperti itu tidaklah sulit untuk ditemui,  alibi menjadi sebuah hal yang paling sulit kemungkinan akan terjadi malah menjelma menjadi sebuah kearifan modern sampai saat ini. Mayoritas penerapan hukum bagi mereka para pelaku koruptor seringkali mendapatkan kompensasi tahanan dan bahkan mendapatkan beberapa fasilitas layaknya tidak sedang berada di dalam sel.

Sangat berbeda dengan perlakuan yang diterima oleh pelaku yang notabene dari kalangan rakyat biasa, acapkali mendapatkan masa tahanan yang memang setimpal dengan perbuatannya tetapi jika dibandingkan dengan masa tahanan pelaku koruptor malah memiliki perbandingan 1:3. Tidak hanya masa tahanan yang berbeda, sudah jelas fasilitas serta perlakuan yang diberikan pasti berbeda juga.

Stigma lain tentang hukum di Indonesia adalah “hukum sangat tajam ke lawan tapi tumpul ke kawan”. Stigma itu sangat relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia, hukum seperti milik para penguasa dan pengusaha.

Jika sosok pelaku tersebut notabene adalah bagian dari mereka sudah dapat dipastikan bahwasanya pengrekayasaan hukum akan dimulai dari lamanya penangkapan, media tidak terlalu mengusut, mendapatkan keputusan hakim dan kompensasi serta fasilitas yang ngawur. Sangat jelas pelaku koruptor adalah penghianat Bangsa tapi malah dimanjakan, justru berbanding terbalik dengan pelaku yang notabene bukan bagian dari mereka, sebuah kasus yang dapat dikategorikan lebih ringan dari kasus korupsi malah mendapatkan hukuman yang lebih berat.

Hukum sepertinya telah sengaja direkayasa hanya untuk mereka  dan menjadikan rakyat biasa adalah korban atas ketidaktegasannya. Sebagai petahana di negara Indonesia, mereka telah mencederai orientasi dari hukum itu sendiri, merawat ingatan terkait banyaknya kasus yang sudah berpuluh-puluh tahun tapi belum juga terungkap, kasus pembunuhan Marsinah (1993), kasus pembunuhan wartawan Udin (1996), kasus hilangnya 13 aktivis dan penembakan 12 mahasiswa (1998) hingga yang terakhir menurut rekayasa mereka, kasus penyiraman air keras Novel Baswedan seolah menemui titik terang.

Terdakwa pelaku tersebut telah ditangkap dan dituntut 1 tahun penjara dengan dalil #gasengaja. Dalil inipun sangat viral, dengan segala perbuatan yang tidak menyenangkan pun dapat dimaklumi jika menggunakan dalil tersebut. Alibi telah menegakkan hukum dengan adil, mereka sepertinya lupa bahwa si korban telah mengalami cacat seumur hidup terkait kasus ini.

Menelisik beberapa kasus sebagai asas bandingan terkait kasus penyiraman air keras, ada kasus dugaan makar oleh Mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih yang dituntut 10 tahun penjara, kasus pelajar pencuri sendal jepit dituntut 5 tahun penjara serta pencuri setandan pisang dituntut 7 tahun penjara.

Melihat dari beberapa kasus itu, sepertinya tidak adil jika dibandingkan dengan tuntutan yang didapat pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dimana kasus ini diusut selama 3 tahun lamanya dan tuntutannya hanya 1 tahun saja, sebuah lelucon yang cukup menggelitik humor manusia.

Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya menerapkan apa yang menjadi orientasi dari hukum itu sendiri, bukan malah menjadikan hukum sebagai senjata bagi orang-orang yang tidak selaras dengannya. Pembungkaman untuk mereka yang bersuara perihal keadilan kini telah menjadi kisah klasik terkait hukum Indonesia.

Adanya mafia yang bermain dibalik layar menjadi sebuah bukti nyata hukum di Indonesia telah memasuki masa lansia, terlebih ancaman 4.0 yang juga punya andil besar dalam penyusunan sebuah dongeng ini.  

Kini hukum menjelma menjadi lahan bisnis bagi mereka yang mempunyai kekuasaan, siapa yang punya modal maka  tidak akan masuk bui. Tentunya sebagai rakyat sangat mengharapkan penegakan hukum secara adil tanpa rekayasa, merawat peduli dan membuang prinsip apatis terhadap persoalan yang bisa saja menjadi cikal-bakal kehancuran sebuah negara.

Sebagaimana pesan pembuka dari puisi yang berjudul “Apa Guna” karya Wiji Thukul,

Apa guna punya ilmu tinggi

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

 

 

Penulis : Andi Juliandrie Abham, Mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.